LOKSADO. Mungkin bagi beberapa orang belum pernah mendengar apa dan
di mana itu Loksado. Loksado merupakan nama sebuah desa di Kabupaten
Hulu Sungai Selatan, yang letaknya sekitar 33 KM dari pusat Kota
Kandangan, Kalimantan Selatan.
Long weekend akhir bulan Maret 2013 yang lalu aku melakukan perjalanan ke desa yang terletak di Pegunungan Meratus tersebut. Simple, karena aku tidak ingin melewatkan long weekend ku hanya berdiam diri di kamar kosan, sehingga aku mencari informasi wisata apa saja yang terdapat di sekitar Kota Samarinda, kota tempat tinggalku saat ini. Dan terpilihlah desa yang menjadi daerah wisata alam dan atraksi budaya masyarakat Dayak Bukit, Loksado.
Sebelum keberangkatan, aku telah mempersiapkan semuanya, mulai dari itinerary, transportasi yang dapat digunakan, hingga perkiraan biaya yang akan kukeluarkan untuk perjalanan kali ini. Sampai akhirnya aku mengajak semua travelmates yang mungkin bisa diajak bersama dalam perjalanan kali ini. Setelah melakukan pendekatan dan sedikit penjelasan, hanya satu orang teman yang bisa ikut dalam perjalanan kali ini, yaitu Mangga.
Setelah melalui perjalanan yang sangat jauh, kami sampai juga di Desa Loksado. Desa ini benar-benar tersembunyi dikelilingi perbukitan sehingga membuat udaranya menjadi sejuk dan bersih.
Tukang ojek membawa kami ke sebuah penginapan, sebuah penginapan sederhana berdinding dan berlantai kayu. Penginapan ini memasang rate 150.000 Rupiah per-malam. Kami memesan dua kamar.
Walaupun hanya difasilitasi sebuah tempat tidur besar dan kipas angin, namun pemandangan dari balik jendela kamar sangat mempesona. Aku dapat melihat perbukitan dengan pepohonan hijau serta batu-batu granit besar di tepi sungai dengan arusnya yang membentuk suara khas pedesaan. “Yiha, i’m really in the village now!” teriakku dalam hati sambil menghirup udaranya yang segar.
Kemudian, kami menyewa sebuah sepeda motor 70.000 Rupiah/hari untuk menikmati setiap tempat yang menjadi icon di Desa Loksado ini. Icon Loksado pertama yang kami kunjungi adalah Air Terjun Haratai.
“Air terjun Haratainya ga jauh kok mas, paling 15 menit saja.” kata si pemilik sepeda motor kepadaku.
“Oke, berangkat!” teriakku pada Mangga.
Perjalanan menuju air terjun Haratai cukup menantang. Kami harus melewati banyak sekali jembatan kayu yang beberapa diantaranya hampir rusak, bahkan kami sempat harus menuntun sepeda motor agar dapat melewati satu jembatan kayu yang benar-benar rusak. Suasananya pun cukup spooky dan sepi. Melewati sebuah kuburan dengan jalan yang sempit naik turun bergronjal.
Sudah 20 menit berjalan, namun air terjun Haratai masih belum juga terlihat. Aku dan Mangga mulai becanda seadanya.
“Katanya dekat, 15 menit. Tapi ini kok..” keluh Mangga.
“Ya, bagi mereka mungkin memang dekat, bagi kita?” kataku memotong pembicaraan.
Aku mulai sedikit khawatir dengan jalannya yang semakin menyempit dan menyeramkan, ditambah lagi hari sudah mulai gelap. Aku meminta untuk segera kembali saja ke penginapan, walaupun sebenarnya Mangga masih penasaran dengan air terjun Haratai yang masih belum terlihat dipelupuk mata.
Malam harinya suasana pedesaan Loksado sungguh sangat sunyi. Hanya ada beberapa ekor anjing yang terlihat sedang mondar-mandir di depan penginapan. Dan ketika kami ingin membeli sesuatu untuk makan malam, kami tidak dapat menemukan satu-pun warung nasi yang buka saat itu. Dan kami-pun tidur dalam kelaparan….
Pagi harinya, akhirnya kami siap untuk melakukan aktivitas yang ditunggu-tunggu, yaitu BAMBOO RAFTING. Kami sangat heboh sekali untuk segera menyusuri sungai dengan menggunakan rakit. Rakit ini terbentuk dari enam belas bambu yang diikat secara ketat di bagian depan dan diikat sedikit longgar di bagian belakang. Sebenarnya ini merupakan alat transportasi tradisional yang digunakan penduduk sebagai penghubung antar desa. Namun dengan kekreativitasan penduduk Loksado, maka rakit ini digunakan dalam aktivitas Bamboo Rafting untuk dapat menarik para wisatawan datang ke desa tersebut.
Kami ditemani oleh seseorang sebagai “nahkoda” rakit yang bertugas untuk mengatur dan mengontrol perjalanan selama menyusuri sungai.
“Kita akan menyusuri sungai ini selama dua jam, selamat menikmati indahnya Loksado!” sang nahkoda membuka suara.
Wohoo! Sungainya sungguh bersih, airnya dingin, udaranya sejuk, pemandangan sekitar hijau menyegarkan mata. Kami dikelilingi oleh hutan belantara, dengan jutaan pohon-pohonnya, bahkan kami sempat menemukan beberapa monyet sedang bergelantungan. This is the real Borneo!
“Inilah Kalimantan yang sesungguhnya, paru-parunya dunia!” teriakku.
“Coba bayangkan kalau saja semua hutan di Kalimantan ditebang, dijadikan lahan tambang. Mau jadi apa dunia kita?” Lanjutku.
“Maksudmu keseluruhan dunia?” tanya Mangga.
“Tentu saja! Itu mengapa Kalimantan disebut sebagai Paru-parunya dunia, karena dari sinilah udara segar itu keluar. Ya, seharusnya dunia berterima kasih kepada Indonesia, khususnya Kalimantan atas hutan belantaranya yang dapat menghasilkan udara segar!” aku coba memberi penjelasan.
Selama menyusuri Sungai Amandit ini arus deras dan batu-batu besar menjadi tantangan yang memacu adrenalinku. Saat melewatinya aku dan Mangga harus berpegangan erat pada bambu yang memang sengaja disediakan untuk menjaga keseimbangan penumpangnya. Ketika di area yang berbatu, sang nahkoda harus bekerja keras agar rakit yang kami tumpangi tidak tersangkut dan dapat terus melaju. Sedangkan aku dan Mangga hanya duduk-duduk manis sambil menikmati pemandangan, hehe…
Yang lebih memacu adrenalinku sebenarnya apabila ada buaya atau ular anaconda di sungai ini seperti yang terdapat di film-film. Namun menurut Bapak Nahkoda di Sungai Amandit tersebut tidak ada buaya atau ular karena sungai ini tidak berlumpur. Petualangan bamboo rafting di Loksado ini menjadi pengalaman seru yang memberikan sensasi tersendiri bagiku.
Setelah melewati Sungai Amandit selama dua jam, kami berdua kembali ke homestay untuk mandi kemudian bersiap-siap meninggalkan Loksado dengan menggunakan ojek. Sesampainya di Kandangan yang kami cari adalah Rumah Makan, ya kami sangat lapar! Di warung Bu Lia aku kalap. Aku langsung menghabiskan dua piring nasi beserta lauk-pauknya dalam hitungan menit. Hehe.
Perut kenyang, kami-pun siap untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.
Banjarmasin, here we go!………….
*sumber : http://www.citilinkstory.com/loksado-keindahan-yang-tersembunyi/
Long weekend akhir bulan Maret 2013 yang lalu aku melakukan perjalanan ke desa yang terletak di Pegunungan Meratus tersebut. Simple, karena aku tidak ingin melewatkan long weekend ku hanya berdiam diri di kamar kosan, sehingga aku mencari informasi wisata apa saja yang terdapat di sekitar Kota Samarinda, kota tempat tinggalku saat ini. Dan terpilihlah desa yang menjadi daerah wisata alam dan atraksi budaya masyarakat Dayak Bukit, Loksado.
Sebelum keberangkatan, aku telah mempersiapkan semuanya, mulai dari itinerary, transportasi yang dapat digunakan, hingga perkiraan biaya yang akan kukeluarkan untuk perjalanan kali ini. Sampai akhirnya aku mengajak semua travelmates yang mungkin bisa diajak bersama dalam perjalanan kali ini. Setelah melakukan pendekatan dan sedikit penjelasan, hanya satu orang teman yang bisa ikut dalam perjalanan kali ini, yaitu Mangga.
Setelah melalui perjalanan yang sangat jauh, kami sampai juga di Desa Loksado. Desa ini benar-benar tersembunyi dikelilingi perbukitan sehingga membuat udaranya menjadi sejuk dan bersih.
Tukang ojek membawa kami ke sebuah penginapan, sebuah penginapan sederhana berdinding dan berlantai kayu. Penginapan ini memasang rate 150.000 Rupiah per-malam. Kami memesan dua kamar.
Walaupun hanya difasilitasi sebuah tempat tidur besar dan kipas angin, namun pemandangan dari balik jendela kamar sangat mempesona. Aku dapat melihat perbukitan dengan pepohonan hijau serta batu-batu granit besar di tepi sungai dengan arusnya yang membentuk suara khas pedesaan. “Yiha, i’m really in the village now!” teriakku dalam hati sambil menghirup udaranya yang segar.
Kemudian, kami menyewa sebuah sepeda motor 70.000 Rupiah/hari untuk menikmati setiap tempat yang menjadi icon di Desa Loksado ini. Icon Loksado pertama yang kami kunjungi adalah Air Terjun Haratai.
“Air terjun Haratainya ga jauh kok mas, paling 15 menit saja.” kata si pemilik sepeda motor kepadaku.
“Oke, berangkat!” teriakku pada Mangga.
Perjalanan menuju air terjun Haratai cukup menantang. Kami harus melewati banyak sekali jembatan kayu yang beberapa diantaranya hampir rusak, bahkan kami sempat harus menuntun sepeda motor agar dapat melewati satu jembatan kayu yang benar-benar rusak. Suasananya pun cukup spooky dan sepi. Melewati sebuah kuburan dengan jalan yang sempit naik turun bergronjal.
Sudah 20 menit berjalan, namun air terjun Haratai masih belum juga terlihat. Aku dan Mangga mulai becanda seadanya.
“Katanya dekat, 15 menit. Tapi ini kok..” keluh Mangga.
“Ya, bagi mereka mungkin memang dekat, bagi kita?” kataku memotong pembicaraan.
Aku mulai sedikit khawatir dengan jalannya yang semakin menyempit dan menyeramkan, ditambah lagi hari sudah mulai gelap. Aku meminta untuk segera kembali saja ke penginapan, walaupun sebenarnya Mangga masih penasaran dengan air terjun Haratai yang masih belum terlihat dipelupuk mata.
Malam harinya suasana pedesaan Loksado sungguh sangat sunyi. Hanya ada beberapa ekor anjing yang terlihat sedang mondar-mandir di depan penginapan. Dan ketika kami ingin membeli sesuatu untuk makan malam, kami tidak dapat menemukan satu-pun warung nasi yang buka saat itu. Dan kami-pun tidur dalam kelaparan….
Pagi harinya, akhirnya kami siap untuk melakukan aktivitas yang ditunggu-tunggu, yaitu BAMBOO RAFTING. Kami sangat heboh sekali untuk segera menyusuri sungai dengan menggunakan rakit. Rakit ini terbentuk dari enam belas bambu yang diikat secara ketat di bagian depan dan diikat sedikit longgar di bagian belakang. Sebenarnya ini merupakan alat transportasi tradisional yang digunakan penduduk sebagai penghubung antar desa. Namun dengan kekreativitasan penduduk Loksado, maka rakit ini digunakan dalam aktivitas Bamboo Rafting untuk dapat menarik para wisatawan datang ke desa tersebut.
Kami ditemani oleh seseorang sebagai “nahkoda” rakit yang bertugas untuk mengatur dan mengontrol perjalanan selama menyusuri sungai.
“Kita akan menyusuri sungai ini selama dua jam, selamat menikmati indahnya Loksado!” sang nahkoda membuka suara.
Wohoo! Sungainya sungguh bersih, airnya dingin, udaranya sejuk, pemandangan sekitar hijau menyegarkan mata. Kami dikelilingi oleh hutan belantara, dengan jutaan pohon-pohonnya, bahkan kami sempat menemukan beberapa monyet sedang bergelantungan. This is the real Borneo!
“Inilah Kalimantan yang sesungguhnya, paru-parunya dunia!” teriakku.
“Coba bayangkan kalau saja semua hutan di Kalimantan ditebang, dijadikan lahan tambang. Mau jadi apa dunia kita?” Lanjutku.
“Maksudmu keseluruhan dunia?” tanya Mangga.
“Tentu saja! Itu mengapa Kalimantan disebut sebagai Paru-parunya dunia, karena dari sinilah udara segar itu keluar. Ya, seharusnya dunia berterima kasih kepada Indonesia, khususnya Kalimantan atas hutan belantaranya yang dapat menghasilkan udara segar!” aku coba memberi penjelasan.
Selama menyusuri Sungai Amandit ini arus deras dan batu-batu besar menjadi tantangan yang memacu adrenalinku. Saat melewatinya aku dan Mangga harus berpegangan erat pada bambu yang memang sengaja disediakan untuk menjaga keseimbangan penumpangnya. Ketika di area yang berbatu, sang nahkoda harus bekerja keras agar rakit yang kami tumpangi tidak tersangkut dan dapat terus melaju. Sedangkan aku dan Mangga hanya duduk-duduk manis sambil menikmati pemandangan, hehe…
Yang lebih memacu adrenalinku sebenarnya apabila ada buaya atau ular anaconda di sungai ini seperti yang terdapat di film-film. Namun menurut Bapak Nahkoda di Sungai Amandit tersebut tidak ada buaya atau ular karena sungai ini tidak berlumpur. Petualangan bamboo rafting di Loksado ini menjadi pengalaman seru yang memberikan sensasi tersendiri bagiku.
Setelah melewati Sungai Amandit selama dua jam, kami berdua kembali ke homestay untuk mandi kemudian bersiap-siap meninggalkan Loksado dengan menggunakan ojek. Sesampainya di Kandangan yang kami cari adalah Rumah Makan, ya kami sangat lapar! Di warung Bu Lia aku kalap. Aku langsung menghabiskan dua piring nasi beserta lauk-pauknya dalam hitungan menit. Hehe.
Perut kenyang, kami-pun siap untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.
Banjarmasin, here we go!………….
*sumber : http://www.citilinkstory.com/loksado-keindahan-yang-tersembunyi/