BANJARMASIN -
Sektor pertanian adalah sektor yang berkontribusi besar baik bagi pemasukan
daerah maupun kontribusinya bagi menopang kesejahteraan masyarakat secara umum
di Kalsel. Hingga 2014, ada sekitar 40 konflik sengketa lahan di Kalsel, antara
petani dan perusahaan.
Seperti
diketahui, Kalsel sendiri adalah salah satu penghasil batubara dan kelapa sawit
terbesar di Indonesia. Dampak dari hal itu, lahan pertanian milik masyarakat
banyak tergerus untuk pertambangan dan perkebunan milik swasta. Ditambah lagi
pembangunan yang semakin meningkat menggerus lahan pertanian.
Mantan
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pusat, Berry
Nahdian Furqon mengatakan, konflik antara masyarakat dengan perusahan bisa
semakin meluas dan mengancam kedamaian di Kalsel jika dibiarkan. “Sektor pertanian
Kalsel terus tergerus oleh pola pembangunan yang mengedepankan sektor lainnya
seperti pertambangan, perkebunan skala besar, perluasan daerah industri dan
pemukiman,” kata Berr.
Dari tahun 2011
lalu laporan sengketa lahan selalu menjadi langganan. Sengketa tersebut antara
perusahaan dan masyarakat di Kalsel. Berdasarkan data DPRD Kalsel tahun 2011-2012
lalu, lokasi terbanyak sengketa lahan ada di Kabupaten Tanah Bumbu, Balangan,
Tanah Laut dan Kotabaru. Konflik lahan ini kebanyakan melibatkan perusahaan
tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Di 2011 ada
sekitar 30 laporan sengketa lahan , sedangkan di 2012 ada sekitar 28
laporan yang masuk ke DPRD Kalsel, berdasarkan arsip data Mata Banua.
Di
hari tani yang diperingati kemarin, Berry menjelaskan penyebab sengketa lahan
di Kalsel adalah buah dari konsep dan pola pembangunan yang keliru oleh pemerintah
daerah selama ini. Yaitu pembangunan dengan konsep mekanisme pasar bebas dan
pola monopoli strategi "menetes kebawah" yang telah gagal. “Sehingga
berdampak bagi pembangunan pertanian kita dan terutama bagi petani itu sendiri
di banua,” ujarnya.
Lahan-lahan
produktif menurutnya malah dialihfungsikan, sehingga petani kehilangan
tanah yang semakin dikuasai oleh segelintir orang dan korporasi, komoditi dan
sistem perdagangan. Serta dikendalikan pasar melalui korporasi dan para
tengkulak, akses petani kecil terhadap bibit, pupuk dan alat-sarana pertanian jadi
terbatas. Belum lagi akibat dari dampak kerusakan lingkungan oleh aktivitas
tambang yang mengakibatkan gagal tanam dan gagal panen. “Nah oleh karenanya, memperingati
hari tani nasional kami ingin mengingatkan pemerintah daerah untuk mengkoreksi
kesalahan tersebut agar bisa berbenah. Selain itu masalah sengketa lahan di
Kalsel jangan dianggap remeh,” cetusnya.
Ditambahkannya,
dalam menyelesaikan berbagai persoalan sengketa lahan yang ada di Kalsel bisa dimulai
dengan membentuk tim penyelesaian konflik agraria daerah dan membentuk badan
musyawarah tani daerah. Tim penyelesaian konflik agraria ini, kata Berry, akan
bekerja melakukan inventarisir konflik agraria, menganalisa, membuat mekanisme
penyelesaian konflik dan memastikan penyelesaiannya. “Tentunya menguntungkan
bagi petani. Sementara badan musyawarah tani daerah yang akan merumuskan kebijakan
dan strategi pertanian kedepan akan menjadi acuan bagi penyelesaian persoalan
pertanian dan pembanguan pertanian di daerah kedepan,” paparnya.
Ia
berharap Kalsel bisa mempelopori dan memimpin keberhasilan sektor pertanian yang
bertumpu pada kekuatan dan potensi lokal, dengan memberdayakan secara riil para
petani. sehingga mampu memicu swasembada pangan nasional dan melepaskan
ketergantungan dengan pihak luar. “Pemerintah daerah harus berpikir membuat
Kalsel tak lagi sebagai lumbung batubara dengan segala kerusakan yang
ditinggalkannya. Namun menjadikan Kalsel sebagai lumbung pertanian nasional.
Juga harus pro rakyat dalam masalah sengketa lahan,” pungkasnya. (stp)