Komunitas
"pasukan receh" ini bernama Komunitas Coin a Chance (CAC) Kalimantan
Selatan. Mereka adalah orang-orang yang mengumpulkan uang koin dari
masyarakat untuk membantu anak-anak dari latar belakang keluarga kurang
mampu yang putus sekolah. Dengan sabar dan telaten mereka mengumpulkan
bantuan dari masyarakat hingga akhirnya bisa membuat anak-anak yang
putus sekolah kembali menyambung pendidikan. Mulai dari jenjang sekolah
dasar, hingga sekolah menengah akhir.
Salah satu relawan di
Komunitas Coin a Chance Kalimantan Selatan, Nazat Fitriah menceritakan
awal mula terbentuknya komunitas sosial tersebut. Awalnya boleh dibilang
berawal dari jejaring sosial Facebook. "Jadi dulu ada teman SMP aku di
SMP 6 Banjarmasin, namanya Riani Dwi Anggraini. Dia nulis status tentang
kegiatan Coin a Chance! di Jakarta dan mau bikin kegiatan seperti itu
juga di Banjarmasin," kata Nazat Fitriah.
Lalu, kata dia di dalam
status Facebook temannya itu ada beberapa orang yang komentar. Sampai
akhirnya mereka mengadakap pertemuan di Food Court Duta Mall, 28 Mei
2011 silam. "Ada lima orang yang datang. Teman waktu SMP, dan SMA. Cewek
semua. Lalu terbentuklah Koin untuk Banua. Itu nama awalnya supaya
lebih gampang dikenal dan gampang diingat," tutur gadis berkacamata ini.
Dari
pertemuan itu, akhirnya disepakati sebuah kegiatan rutin. Setiap bulan
diadakan kegiatan Coin Collecting Day atau Hari Pengumpulan Koin, disitu
siapa saja boleh datang untuk menyumbang koin dan menghitung bersama.
"Selain dari sumbangan pribadi orang-orang, kami juga menitip beberapa
toples di tempat-tempat usaha punya teman yang berminat. Istilahnya jadi
dropzone, misalnya di kantor, toko, klinik, dan lain-lain," katanya.
Pada
kegiatan pertama, Juni 2011, komunitas ini mampu mengumpulkan bantuan
Rp 1,6 Juta dari sumbangan masyarakat. Mereka melakukan pengumpulan koin
di area Car Free Day (CFD) seputaran Masjid Sabilal Muhtadin
Banjarmasin. Respon masyarakat cukup bagus.
Namun mereka menemui kendala, karena saat ingin menyetor uang receh ke
salah satu Bank, sempat ditolak.
Kenapa? Karena petugas Bank
kebingungan dan kewalahan menghitung uang receh yang sangat banyak. "Tak
menyerah, lalu kami ke salah satu Bank milik negara untuk menukar uang
receh dengan uang kertas. Namun ditolak juga. Alasannya karena uang
receh itu malah banyak dicari masyarakat. "Tapi akhirnya dari Bank ini
melakukan koordinasi dengan Bank swasta, dan besoknya Bank swasta
tersebut mauk menerima dengan syarat uang recehnya disusun dan diplester
supaya mudah dihitung," ujar salah satu Jurnalis perempuan di Kalsel
ini.
Nah untuk penyaluran bantuan, paling utama untuk beasiswa.
Komunitas ini mengangkat adik-adik asuh kurang mampu yang dibiayai
sampai lulus SMA. Anak-anak kurang mampu ini bukan hanya sekedar
ditanggung biaya sekolah, buku dan seragam saja. Tapi juga alat
transportasi seperti sepeda dan uang saku. "Ada beasiswa yang sifatnya
penuh, ada juga yang tidak. Tergantung kondisi ekonomi keluarganya.
Karena biar bagaimanapun orangtua tetap harus bertanggungjawab terhadap
pendidikan anaknya," paparnya.
Adik asuh dari komunitas ini yang
sudah lulus SMA ada tujuh orang, sebagian bahkan bisa melanjutkan ke
perguruan tinggi. Sampai saat ini ada lima orang anak yang dibiayai, dan
semua sudah sampai jenjang SMA. Kriteria untuk jada adik asuh,
lanjutnya adalah dari keluarga kurang mampu. Tidak mesti pintar, asalkan
punya semangat tinggi untuk sekolah. Selain beasiswa, kadang-kadang ada
penyaluran yang sifatnya mendadak, sesuai kondisi. Seperti membantu
peralatan sekolah untuk anak-anak korban kebakaran, membantu sedikit
fasilitas sekolah yang tidak layak.
Ia juga menceritakan, mereka
kadang tidak hanya menerima uang receh, tapi ada juga uang ratusan ribu
yang masuk. Koin, kata dia, cuma simbol, bahwa kita bisa membuat
perubahan besar mulai dari langkah kecil dan kita tak perlu menunggu
jadi orang kaya dulu untuk bisa membantu orang lain
Menjadi
relawan tentunya tak hanya pengalaman menyenangkan yang dirasakan. Ada
pula pengalaman yang kurang mengenakkan. Seperti beberapa kali ke
sekolah untuk mencari anak yang dijadikan adik asuh, malah dicurigai mau
minta-minta sumbangan. Pengalaman lain yang tidak enak itu saat
mengangkat adik asuh putus sekolah. Lalu dibantu maksimal, di tengah
jalan malah kembali putus sekolah. "Ternyata tidak mudah mengembalikan
anak putus sekolah dan sudah kenal uang. Belum tentu niat baik,
ditanggapi baik juga," kenangnya.
Hingga 2014 ini, total dana yang
terkumpul
sudah mencapai Rp 50 Juta lebih. Bayangkan, dari ide awal mengumpulkan
koin, sampai bisa mendapatkan dana sebanyak itu merupakan sesuatu yang
luar biasa. Komunitas Coin a Chance ini patut kita tiru semangat
kemanusiaanya. Karena sebagai makhluk sosial, tentu tak bisa lepas dari
bantuan manusia lainnya. Tuhan dalam firmannya di kita suci bahkan
memberitahukan, bahwa barangsiapa melakukan kebaikan, maka akan dibalas
kebaikan pula. Mari saling membantu.(stp/mb)