BANUAONLINE.COM – Bebasnya enam terdakwa
kasus dugaan korupsi bantuan sosial (bansos) Kalimantan Selatan, Senin (19/1)
lalu disoroti oleh beberapa ahli hukum pidana. Kasus bansos dianggap merugikan
negara, dan perbuatan penyelenggara negara merugikan kekayaan negara masuk
ranah tindak pidana korupsi. JPU diminta segera ajukan kasasi.
![]() |
Ahli hukum pidana dari Fakultas
Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Daddy Fahmanadie SH LL.M,
mengatakan, hakim memang berhak memutuskan seseorang dengan putusan bebas,
sebagaimana dalam KUHP Pasal 76. Namun putusan bebas itu diberikan ketika
terdakwa tidak cukup bukti untuk didakwakan. Sehingga tidak terbukti
unsur-unsur pidananya. “Tapi menurut pandangan saya, hakim memang punya
kewenangan memutuskan,” kata dosen hukum pidana ini (1/2015).
Pandangan lebih keras diberikan oleh
Muhith Afif, pengamat hukum yang juga dosen Fakultas Hukum Unlam ini menganggap
putusan ini janggal. Bahkan ia meminta kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk tidak
ragu mengajukan kasasi atas putusan hakim Pengadilan Tipikor PN Banjarmasin
tersebut. “Kalau sampai JPU tak mengajukan kasasi, ada indikasi masuk angin,”
cetusnya.
Dijelaskannya,
putusan lepas (onslag van recht vervolging) itu artinya dalil-dalil jaksa
penuntut umum terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, akan tetapi
terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana, karena perbuatan tersebut bukan merupakan
tindak pidana. Namun ia mempertanyakan, kenapa majelis hakim melepaskan para
terdakwa bansos dengan putusan onslag kalau dalil-dalil jaksa penuntut umum
terbukti di pengadilan?
Menurutnya
kasus dugaan korupsi bansos itu akar masalahnya karena merugikan uang negara,
sedangkan rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang tindak
pidana korupsi jelas, bahwa perbuatan penyelenggara negara yang merugikan
kekayaan negara masuk ranah tindak pidana korupsi. “Kala u majelis hakim
memberikan vonis bukan tindak pidana, itu kajiannya pakai hukum apa? Kalau
bukan tindak pidana, harusnya sejak awal pengadilan Tipikor Banjarmasin tolak
dong kasus bansos itu,” timpalnya.
Ia
bahkan merasa heran, mengapa di awal
tidak ditolak tapi diakhir memberikan putusan onslag. Atas putusan onslag ini
sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 yang diucapkan
pada tanggal 28 Maret 2013 dan Pasal 244 KUHAP, lanjutnya, sudah selayaknya
jaksa mengajukan kasasi.
Sebab
putusan bebas (vrijspraak) dan/ataulepas (onslag van recht vervolging) sesuai
dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 yang diucapkan pada
tanggal 28 Maret 2013 dan Pasal 244 KUHAP tidak bisa dilakukan banding, tetapi
dengan kasasi.
Ditambahkannya,
berdasarkan pengalaman pada kasus lain di Kalimantan Selatan, putusan
pengadilan negeri Banjarmasin yang memberikan vonis bebas (vrijspraak) pernah
dianulir oleh Mahkamah Agung pada saat kasasi.
Contohnya
adalah kasus terdakwa berinisial PR, Direktur Utama PT SBT. Putusan bebas
(vrijspraak) PR dianulir oleh Mahkamah Agung pada saat kasasi. Saat kasasi,
Mahkamah Agung menyatakan bahwa PR bersalah sehingga dipidana tiga tahun
penjara dan denda satu miliar rupiah. “Oleh karena itu, jaksa jangan pikir-pikir
lagi. Segera ajukan kasasi,” tekannya.
Seperti
diketahui, enam terdakwa yaitu mantan wakil bupati Kabupaten Banjar Fauzan
Saleh, mantan Sekda Pemprov Kalimantan Selatan Muchlis Gafuri, mantan Asisten
II Pemprov Fitri Rifani, mantan Kepala Biro Kesra Anang Bachranie dan dua
mantan bendahara pengeluaran Sarmili serta Mahliana diputuskan onslag atau
lepas dari jeratan hukum oleh majelis hakim. Mereka hanya dianggap melakukan
kesalahan administrasi. (stp/mb)
Posting Komentar