“Civil cervants
are appointed, not elected, on the basis of technical qualifications as
determined by diplomas or examination”(Pegawai negeri ditentukan, tidak
dipilih, berdasarkan pada kualifikasi teknik yang ditunjukan dengan ijazah atau
ujian).

Mengamati apa
yang disebut oleh peneliti dari LIPI, Dini Suryani sebagai Birokrasi Bubuhan,
tentu sangat menarik untuk didiskusikan. Selain memang real terjadi di
Kalimantan Selatan, juga barangkali kita pun pernah merasakan sendiri. Ia
dengan gamblang “menelanjangi” perekrutan para birokrat di daerah ini dengan
mengatakan:
“calon pegawai
yang memiliki ‘akses orang dalam’ akan lebih besar kesempatannya untuk masuk ke
dalam birokrasi. Hal ini terjadi hingga sekarang, sehingga birokrasi di Kalsel
dikenal dengan istilah ‘birokrasi bubuhan”.
Dari sini sebenarnya, bisa dilihat, problema “birokrasi bubuhan” di Kalsel, itu seperti Fenomena Gunung Es. Artinya, yang muncul di permukaan, lebih kecil daripada yang ada di bawahnya: LEBIH BESAR.
Dari sini sebenarnya, bisa dilihat, problema “birokrasi bubuhan” di Kalsel, itu seperti Fenomena Gunung Es. Artinya, yang muncul di permukaan, lebih kecil daripada yang ada di bawahnya: LEBIH BESAR.
Kalau boleh
“bersu udzhon” maka katakan saja, hal ini sudah menggurita dan menjadi samacam
tradisi, bahkan “hukum adat” di setiap instansi milik pemerintahan. Soal jatah
” anak” masuk sebagai pegawai menggantikan orang tua yang sudah pensiun, sudah
menjadi rahasia umum.
Sehingga saat
kita coba telusuri, jangan merasa aneh bin ajaib, kalau di dalam instansi
tersebut para pegawainya masih terkait hubungan keluarga: anak, adik, kakak,
sepupu, paman, julak dan lain sebagainya. Sehingga seperti Dinasti: Birokrasi
Dinasti.
Ini tak jauh
beda sebenarnya dengan birokrasi patrimonial. Dalam hal ini, promosi pegawai
tidak lagi didasarkan pada keahlian dan kompetensi yang dimiliki oleh individu
melainkan lebih diarahkan pada hubungan kekeluargaan, ikatan darah, perkawinan,
keluarga, daerah, golongan dan lain sebagainya.
Padahal menurut
Max Weber bahwa salah satu ciri birokrasi yang ideal adalah setiap pejabat sama
sekali tidak diperbolehkan untuk melaksanakan tugas yang terkait dengan
jabatannya dan sumber daya instansinya untuk kepentingan pribadi dan
keluarganya. Untuk masalah ini, sebaiknya menerapkan merit system.
Penerapan
sistem merit (merit system) yaitu adanya kesesuaian antara kecakapan yang
dimiliki seorang pegawai dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya, meliputi
tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal/diklatpim, pendidikan
dan latihan teknis, tingkat pengalaman kerja, dan tingkat penguasaan tugas dan pekerjaan.
Suatu model
Perekrutan yang mana calon yang lulus seleksi benar-benar didasarkan prestasi,
kompetensi, keahlian maupun pengalaman calon sehingga dengan demikian tipe
rekrutmen yang bersifat spoil system (sistem pemanjaan) yang lebih ditekankan
pada hubungan patrimonial dapat dieliminasi.
Sayangnya, Will
dari pemerintah provinsi dan semua pemerintah kabupaten/kota di Kalsel untuk
melakukan “reformasi birokrasi” dan menjalankan merit system ini masih
“setengah hati”
Makanya, ini
akan menjadi BIG JOB bagi siapapun kepala daerah yang memimpin di daerah ini.
Bukan malah menjadikan Birokrasi sebagai “agen politik” namun, harus
benar-benar memperbaiki. Kualitas birokrasi kita sangat menentukan, bagaimana
pelayanan publik di daerah penghasil Batu Bara terbesar nomor dua di Indonesia
ini dapat dirasakan dengan baik oleh masyarakat. (*)
*Oleh: Syam
Indra Pratama (Pemimpin Redaksi BANUAONLINE.COM,Ketua Himpunan Jurnalis Muda Indonesia Kalimantan Selatan)
Posting Komentar