Ini tantangan politik yang luar biasa, yang belum di mengerti dan sekaligus belum selesai sampai sekarang. Rumitnya lagi nepotisme politik dianggap selesai ketika memandang nepotisme di pemerintahan yang sudah banyak terjadi pembenahan melalui slogan Good Governance.
FOTO: die-zeitungen.de |
Nepotisme politik ternyata berkembang subur dan cukup banyak pihak yang menganggap nepotisme politik merupakan hal biasa saja tapa perlu dikhawatirkan. Ini tentu anggapan yang benar-benar sesat menganggap nepotisme politik biasa saja ada dan tidak berdampak politik pada kehidupan politik.
Apalagi dalam perkembangannya nepotisme terlalu di sorot pada sisi suprastruktur politik tanpa melihat infrastruktur politik.
Pada tingkat suprastruktur politik memang tidak terlihat adanya nepotisme politik tetapi pada tingkat infrastruktur politik mulai menjamur dan nyata-nyata terjadi nepotisme politik.
Partai-partai politik cenderung terjebak melakukan praktek membangun keluarga dalam tubuh partai politik, misalnya dengan mengangkat anak, istri atau keluarga dekat tanpa melalui mekanisme seleksi di partai politik. Awalnya pengikutsertaan anak, istri dan keluarga dekat dalam partai politik ini untuk hasrat mendidik anak dan membantu pekerjaan di partai politik, tetapi lama-kelamaan justru yang terjadi penguatan tahta keluarga dalam tubuh partai politik tersebut.
Penguatan tahta dalam tubuh partai politik ini akan menggeser hak politik orang lain, dimana orang-orang lama di partai politik maupun yang baru akan pupus harapan menduduki jabatan-jabatan di partai politik, yang selalu diisi oleh sang keluarga dari ketua partai politik tersebut.
Kemudian di sisi lainnya sebenarnya sudah cukup bagus pengaturan politik dalam pencalonan kepala daerah di pilkada (pengaturan ini sebelum di anulir oleh Mahkamah Konstitusi yang menyepakati pembolehan), dimana calon kepala daerah yang memiliki kaitan dengan petahana (kepala daerah) yang ada di larang untuk ikut dalam pilkada sampai 2 periode (10 tahun) berikutnya dan setelah itu baru bisa mencalon dalam pikada.
Pengaturan ini memberikan ruang bagi orang lain untuk ikut berkompetisi dalam pilkada tersebut. Dibandingkan jika keluarga kepala daerah tidak di larang bisa ikut langsung menjadi calon dalam pilkada berikutnya.
Bisa dibayangkan kepala daerah yag ada sudah menjabat selama 2 periode (10 tahun), kemudian melalui kekuasaannya dapat mengatur supaya pemilihan kepala daerah tersebut dimenangkan oleh anaknya, kemudian 2 periode berikutnya dilanjutnya dengan terpilihnya istrinya, selanjutnya 2 periode berikutnya terpilih kemenakannya, terus seperti itu hanya keluarga itu yang bergiliran.
Lalu kapan kesempatan orang lain atau hak politik orang lain, ini lah faktor yang mendasar mengapa nepotisme politik itu di larang keras, supaya keseimbangan dan kesetaraan politik dapat terus terjaga dan terbentuk, dimana orang lain memiliki kesempatan yang sama di ruang kompetisi dalam politik tanpa merasakan ketidakadilan dalam politik.
*Dr. Budi Suryadi, MSi / Staf Pengajar Fisip Unlam/ Paar Politik Kalsel
Posting Komentar