Pemilih merupakan salah satu aktor utama dalam proses pemilihan kepala
daerah, dengan kata lain tanpa adanya pemilih maka sebuah pemilihan kepala
daerah tidak akan bisa dianggap legitimet ataupemilihan kepala daerah tersebut
dianggap tiada arti apa pun tanpa kehadiran pemilih ini.
Pemilih menjadi penentu akhir dari perhelatan sebuah pemilihan kepala
daerah, ibaratnya kesuksesan dn ketidaksuksesnya ditentukan pemilihnya. Pemilih
berpartisipasi maka pemilihan kepala daerah berlanjut sebaliknya pemilih tidak
berpartisipasi maka pemilihan kepala daerah di stop.Kehadiran pemilih ini juga bisa membuat sebuah pemilihan kepala daerah berkualitas. Simbiosis mutualismenya pemilih berkualitas maka pemilihan kepala daerah juga akan berkualitas, sebaliknya pemilih tidak berkualitas maka pemilihan kepala daerah juga akan tidak berkualitas.
foto: unlam.ac.id |
Sebegitu pentingnya sosok pemilih ini banyak upaya dilakukan untuk menarik
simpati pemilih agar terus berhadir dalam perhelatan pemilihan kepala daerah.
Tidak itu saja banyak jenis pendidikan maupun pelatihan bagi pemilih dilakukan
agar sosok pemilih ini meningkat derajat pengetahuannya.
Selama perjalanan pemilihan kepala daerah sampai saat ini sosok pemilih yang
terbentuk memiliki varian perbedaan yang meliputi pemilih tradisional, pemilih
rasional dan pemilih pragmatis. Masing-masing varian pemilih ini memiliki basisnya
dan logika tersendiri yang tersebar di masyarakat.
Nampaknya varian pemilih ini terus abadi sampai sekarang dengan tanpa
terlihat perubahan-perubahan. Namun dari sekian lama perjalanan pemilihan
kepala daerah yang berlangsung ini jika pemilih masih mempertahankan
karakteristik variannya sendiri maka pemilih ini tentu sudah tersesat dalam
belantara pemilihan kepala daerah.
Dimana seharusnya pemilih sudah mengalami transformasi dengan beradaftasi pada
kepentingan masyarakat yang lebih luas. Pemilih tidak terkerangkeng pada
kepentingan diri sendiri yang lebih bernuansa materialisme dengan pandangan
sempit akan keberlanjutan hidupnya sendiri.
Seharusnya pemilih setelah keluar dari varian ketradisionalannya justru
pemilih menjadi pemilih yang rasional (cerdas) bukan menjadi pemilih yang
pragmatis. Proses lama dalam varian tradisionalisme menjadikan pemilih lebih
bijak dan cerdas untuk melakukan pemihakan kepada kepentingan masyarakat yang
lebih luas.
Selain itu pengalaman mengikuti pemilihan kepala daerah yang sudah
berlangsung lama dapat menjadikan motif bagi pemilih untuk lebih mampu dalam
mengatasi niatan kepentingan pribadinya yang selalu ada dan tidak pernah luntur
dalam diri individu pemilih tersebut.
Walaupun demikian sudah berapa orang pemilih yang dalam belantara pemilihan
kepala daerah ini terus tersesat dalam varian pragmatisme. Tanpa ada kesadaran
untuk untuk keluar dari varian pemilih yang menyesatkan tersebut yang merugikan
kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Harapan tiada henti untuk pemilih yang tersesat tersebut untuk sadar mengambil
posisi menjadi pemilih yang rasional (cerdas) dalam menentukan kepala daerahnya
agar pemilihan yang memang sejatinya sebagai seleksi pemimpin yang
memperjuangkan kepentingan umum.
*Dr. Budi Suryadi/Staf Pengajar Fisip Unlam
Posting Komentar