Istilah GOLPUT (Golongan Putih) ini sudah barang tentu tidak lagi asing kita dengar, GOLPUT ini ialah berupa tindakan seseorang yang tidak melakukan pemilihan atau tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di pemerintahan.
Islam dalam memandang tentang GOLPUT ini didasarkan dalam beberapa pertimbangan, diantaranya ialah :
1. Fiqh Muwazanat (فقه الموازنات).
Dalam menimbang wacana perpolitikan nasional, satu hal yang tidak dapat dihindarkan adalah fiqh muwazanat (pertimbangan). Fiqh ini bisa menimbang dua perkara yang kita tidak dapat menghindarinya dan harus memilih salah satu dari keduanya. Peran terpenting yang dapat dilakukan oleh fiqh pertimbangan ialah:
a. Memberikan pertimbangan antara berbagai kemaslahatan dan manfaat dari berbagai kebaikan yang disyariatkan.
b. Memberikan pertimbangan antara berbagai bentuk kerusakan, madharat, dan kejahatan yang dilarang oleh agama.
c. Memberikan pertimbangan antara maslahat dan kerusakan, antara kebaikan dan kejelekan apabila dua hal yang bertentangan ini bertemu satu sama lain.
2. Pertimbangan Antar Mudharat.
Volume, intensitas, dan bahaya yang ditimbulkan oleh kerusakan dan madharat itu berbeda-beda tingkatannya. Atas dasar inilah, para fuqaha menetapkan sejumlah kaidah yang baku mengenai hukum yang penting; antara lain :
a. Tidak ada bahaya dan tidak boleh membahayakan.
b. Suatu bahaya sedapat mungkin harus disingkirkan.
c. Suatu bahaya tidak boleh disingkirkan dengan bahaya yang sepadan atau yang lebih besar.
d. Bahaya yang lebih ringan, dibandingkan dengan bahaya lainnya yang mesti dipilih, boleh dilakukan
e. Bahaya yang lebih ringan boleh dilakukan untuk menolak bahaya yang lebih besar.
f. Bahaya yang bersifat khusus boleh dilakukan untuk menolak bahaya yang sifatnya lebih luas dan umum.
3. Pertimbangan Antara Maslahat dan Kerusakan Bila keduanya Bertemu.
Kalau misalnya kerusakannya dirasakan lebih banyak dan lebih berat dalam suatu perkara dibandingkan dengan manfaat yang terkandung di dalamnya, maka perkara seperti ini mesti dicegah, karena kerusakan lebih banyak, kita terpaksa mengabaikan sedikit manfaat yang terkandung di dalamnya. Keputusan ini didasarkan kepada apa yang dikatakan oleh al-Qur'an al-Karim sehubungan dengan hukum khamar dan berjudi ketika dia memberikan jawaban terhadap orang-orang yang bertanya mengenai kedua hal itu. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir (Q.S.Al-Baqarah [2]: 219). Sebaliknya, apabila dalam suatu perkara terdapat manfaat yang lebih besar, maka perkara itu boleh dilakukan, sedangkan kerusakan kecil yang ada padanya dapat diabaikan.
Di antara kaidah penting dalam hal ini ialah:
a. Menolak kerusakan harus didahulukan atas pengambilan manfaat.
b. Kerusakan yang kecil diampuni untuk memperoleh, kemaslahatan yang lebih besar.
c. Kerusakan yang bersifat sementara diampuni demi kemaslahatan yang sifatnya berkesinambungan. "
d. Kemaslahatan yang sudah pasti tidak boleh ditinggalkan karena ada kerusakan yang baru diduga adanya.
4. Fiqh Prioritas dalam Bidang Politik.
Rujukan politik Islam terkemuka adalah kitab karangan Ibnu Taimiyyah yang sangat monumental yakni As-siyasah Asy-Syariyyah fi Ishlahi Ar-ra’i wa Ra’iyah ( Politik Ketatanegaran menurut Islam Guna Perbaikan Pemimpn dan Rakyat). Menurut Ibnu Taimiyyah, ada dua jenis amanah yang dibebankan pada pemimpin, yakni amanat kepemimpinan dan amanat harta. Dalam melaksanakan amanat kepemimpinan itu ada empat hal yang perlu diperhatikan:
a. Kepemimpian harus memakai tenaga yang lebih patut (ashlah).
Menempatkan segala urusan kaum muslimin kepada orang-orang yang patut untuk jabatan itu merupakan kewajiban setiap pemerintah. Pemerintah wajib terlebih dahulu meneliti orang yang sebenarnya berhak menjadi pemimpin, yang akan menjadi wakil-wakil di seluruh daerah, mereka adalah pembesar-pembesar yang akan menjadi wakil pemegang kekuasaan, para hakim dan jaksa, pembesar militer, komandan-komandan pasukan yang kecil maupun kasatuan yang besar, pengawas keuangan yang terdiri dari menteri dan sekretaris Negara, dan petugas zakat.
b. Memilih yang lebih utama (afdhal).
Kadang-kadang berdasarkan ukuran yang ideal (ashlah) tidak ditemukan orang yang pantas untuk menduduki suatu jabatan, untuk itulah dipilih orang yang lebih utama (afdhal). Apabila ini telah dilakukan dengan usaha yang cermat, dan seseorang telah menduduki jabatan tersebut dengan haknya, maka sesungguhnya ia telah menunaikan amanat dan kewajibannya dan telah duduk dalam jabatan sebagai pemimpin yang berlaku adil dalam pandangan Allah. Pemimpin harus memiliki dua rukun, yakni kekuatan dan amanah. Hal ini berdasarkan surat Al-Qashash ayat 26:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS. Al-Qashash [28]:26).
Kekuatan dalam lapangan kepemimpian harus menurut ketentuan di bidangnya pula. Kekuatan dalam berperang misalnya, adalah kembali kepada keberanian untuk mati, mau tampil ke medan perang serta pintar melakukan strategi. Amanah berpangkal takut kepada Allah dan bahwa ayat-ayat Allah itu tidak boleh diperjualbelikan dengan harga yang sedikit. Amanah juga berpangkal pada rasa takut terhadap sesama manusia.
c. Pilihan antara kekuatan dan amanah.
Amat jarang ditemukan orang yang memiliki kekuatan dan amanah secara terpadu. Maka perlulah menempatkan orang yang cocok dengan kedudukannya. Apabila ada dua orang laki-laki satu diantaranya lebih besar amanah dan satunya lagi lebih besar kekuatannya, maka dipilih mana yang lebih bermanfaat untuk jabatannya dan paling sedikit resikonya. Menurut Taimiyyah, seorang pemimpin besar bila memiliki watak yang lunak, maka wakil sepantasnya orang yang memiliki watak sebalikya, supaya terjadi perimbangan.
d. Mengenai yang lebih maslahat dan cara untuk mencapai kesempurnaannya.
Mengenal mana yang lebih baik harus mendapat perhatian dan itu hanya dapat disempurnakan dengan mengetahui maksud pemimpin dan mengetahui pula metode yang dimaksud. Apabila telah diketahui tujuan-tujuan dan jalan-jalan itu, niscaya akan sempurnalah segala urusan.
Allah SWT mengingatkan dalam al Qur’an bagaimana memilih pemimpin. Demikian pula hadis-hadis Rasulullah SAW yang tidak hanya sekedar menentukan pilihan, tetapi juga membicarakan adab-adab dalam memperoleh kekuasaan dan setelah menduduki kekuasaan. Para penulis kitab-kitab hadis meletakkan memilih pemimpin dalam bab ‘al fitan/fitnah dan al ahkam/hukum’. Di dunia akademik dalam studi hadis, dikenal adanya teori ‘tawaqquf’, yaitu satu sikap tidak mengambil keputusan. Golput bisa jadi ‘benar’ jika tidak ada dalil naqliyah dan aqliyah untuk menentukan pilihan. Akan tetapi golput bisa jadi ‘tidak benar’ jika sikap itu diambil tanpa upaya mendapatkan informasi yang kompeten, adil dan fair tentang pribadi-pribadi calon-calon tersebut.
Kepemimpinan adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah alat untuk menjalankan syaria’ thirast al din wa siyasat al dunia. Akan tetapi perkembangan akan tuntunan normatif ini sepanjang sejarahnya mengalami pasang surut. Sikap golput tidak selamanya dapat dipersalahkan. Namun implikasinya dari Golput sungguh perlu dicermati bahwa:
a. Kaum muslimin yang golput/abstain pada hakikatnya akan memberikan kesempatan yang luas kepada non muslim dan kaum sekuler menancapkan kukunya dan mengobok-obok kehidupan umat Islam.
b. Umat Islam akan sulit berdialog dengan pemimpin non-muslim atau sekuler, karena mereka merasa tidak didukung.
c. Umat Islam suka atau tidak suka tetap harus mengikuti kebijakan pemerintah/gubernur yang berkuasa, meski itu bukan pilihannya.
source: astya-yoga.blogspot.com
Posting Komentar