Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS) Sebuah Gerakan Kritik Ruang Seni dalam Dunia Pendidikan
BBCom, Oleh Novyandi Saputra, S.Pd, M.Sn *)
(Ilustrasi Foto Zulfian/beritabanjarmasin.com) |
Intelektualistas Bangsa Indonesia yang begitu tinggi tertuang dalam setiap rumpun kebudayaan yang beraneka ragam dan tersebar di Indonesia. Semua membentuk gugusan-gugusan yang menjadi bunga rampai harta budaya bangsa. Kalimantan Selatan menjadi salah satu gugusan kebudayaan yang mencerminkan intelektualitas Urang Banjar sebagai satu bagian dari bumi Nusantara. Kalimantan Selatan memiliki begitu banyak bebunyian yang lahir dari karateristik budaya Urang Banjar yang membentuk identitas kebudayaan.
Para kreator kesenian baik di masa lampau, masa sekarang, dan masa akan datang memiliki ikatan benang merah yang sama yaitu membuat, menjaga dan mengembangkan harta warisan budaya Urang Banjar tersebut dengan cara mengajarkan dan mempertunjukan baik dengan bentuk yang klasik (asli) ataupun dengan bentuk kebaruan.
Setiap daerah di Nusantara ini memiliki keragamanan kesenian dan kebudayaan. Hal ini menyebabkan sebuah daerah memiliki karateristik tersendiri, baik persoalan suka dan tidak suka, enak dan tidak enak maupun kesesuaian. Sebagai contoh, gamelan Banjar dengan laras salindru Banjar tidak akan bisa terdengar enak di masyarakat yang berbudaya Jawa, begitu juga sebaliknya. Persoalan semacam ini adalah sesuatu yang wajar karena sebuah masyarakat telah terbentuk karateristik yang sesuai dengan adat istiadat dan lingkungannya termasuk dalam memaknai kesenian.
Pada era sekarang dan yang akan datang perlu adanya penguatan dan penyatuan kembali masyarakat dengan seni sebagai sebuah wadah untuk memahami keberagaman. Hal ini juga tertuang dalam Semangat dan filosofi dari Nawacita Republik Indonesia poin ke sembilan untuk memperteguh Kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui penguatan kebhinekaan dan menciptakan ruang dialog antar warga.
Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS) yang digalakan dan dilaksanakan Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi salah satu ruang pembangunan karakter bangsa dalam memahami kebhenikaan dan kekayaan bangsa akan seni budaya. Dilandasi filosofi Nawacita poin kesembilan dan diperkuat dengan beberapa landasan hukum dalam bentuk undang-undang dan peraturan pemerintah program ini menjadi salah satu senjata dalam memperkuat dan menjaga kesatuan bangsa.
GSMS menjadi sebuah ruang pertemuan antara seniman dan siswa-siswa yang berusia produktif dalam mengolah kreativitasnya. Seniman diharapkan mampu membagi kemampuan praktis dan intelektualitasnya dalam bidang seni (sesuai keahlian seniman) hingga mampu mempertunjukannya. Namun poin pentingnya adalah bagaimana seniman memambagi metode ajarnya dalam pelajaran seni budaya yang berbasis lokal.
Tata ajar dari sudut pandang seniman kemudian digambarkan dalam format rencana pembelajaran sesuai dengan kebiasaan pengajaran yang seniman itu sendiri lakukan. Hal ini merujuk pada bagaimana dalam pengajaran-pengajaran yang berkonteks tradisional tidak hanya mengejar kemampuan praktik tapi juga pembentukan etika moral para siswa dalam proses pengajaran. Hal ini dilakukan untuk mengatasi persoalan banyaknya guru-guru kesenian di sekolah-sekolah yang tidak memiliki kemampuan untuk mengajar seni tradisi lokal. Siswa dilatih persis dengan tata ajar seniman, baik istilah, teknik, sampai pada nilai dan makna ada setiap praktik-praktik tersebut. Tujuannya agar siswa kemudian mampu membagikan apa yang didapatkan dari seorang seniman dengan siswa lainnya pasca seniman selesai pada program ini.
Gerakan Kritik
Gerakan seniman masuk sekolah ini akhirnya menjadi sebuah kritik bagi perguruan-perguruan tinggi seni dan bagi sekolah-sekolah. Bagi perguruan tinggi tentu menjadi sebuah PR besar bagaimana melahirkan calon-calon guru yang faham akan seni tradisi lokal. Dan tidak bisa dipungkiri juga system kurikulum yang terinskripsi sama dari pusat sampai daerah membuat seni lokal hanya diajarkan sekian persen. Padahal sangat penting untuk menjadikan seni lokal sebagai basis pengajaran seni di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Gerakan Otonom terhadap seni lokal harus mulai digalakan. Undang-undang yang diberlakukan seperti perda daerah dan undang-undangan kesenian sepertinya hanya menjadi pajangan tanpa jelas alur realisasinya.
Pada pihak sekolah juga agak sedikit lucu jika saya boleh membicarakannya. Bayangkan saja ada sekian banyak sekolah yang tersebar di Kalimantan Selatan dan bisa dihitung jari yang memiliki instrumen-intrumen tradisional kalimantan Selatan seperti gamelan Banjar dan musik panting yang sudah popular dan dianggap sebagai identitas kedaerahan. Belum lagi persoalan ketidak fahaman pihak sekolah akan pentingnya keberadaan barang seni tersebut. Sekolah terjebak pada hal yang bersifat membangun anak dengan basis eksakta, namun lupa bahwa daya kreatifitas mampu menciptakan pribadi-pribadi yang unggul.
Menjadi sangat wajar akhirnya jika Kalimantan selatan yang tumbuh dengan sangat metropolis akan perlahan kehilangan jati dirinya. Ini karena dimulai dari ruang pendidikan yang hanya sibuk mengurusi persoalan nilai. Namun lupa membangun kreativitas anak didik.
Semoga gerakan ini akan selalu ada untuk membuktikan bahwa seni sudah sejajar dengan sains, matematika, arsitektur, dan teknologi.
*) Pengamat Kesenian dan Kebudayaan, dan Founder NSA Project Movement