Harliansyah, SH/Ilustrasi oleh Zulfian/beritabanjarmasin.com |
Jelang Pilkada, Netralitas Kepala Desa Untuk Siapa ?
BBCOM, Oleh Harliansyah, SH*)
Tak lama lagi Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah Serentak pada 27 Juni 2018. Daerah yang akan mengikuti pilkada serentak tersebut terdiri 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten, dengan total 171 daerah. Menjelang perhelatan ini digelar, gerakan-gerakan politis dan manuver-manuver jitu pun disiapkan oleh masing-masing calon. Mulai dari menyiapkan strategi kampanye, blusukan hingga ke pelosok desa guna mengumpulkan simpul-simpul massa.
Tak heran jika banyak calon kepala daerah mengincar Kepala desa (Kades) untuk menjadi mesin penggerak massa untuk meraup sebanyak-banyaknya suara. Nilai penghargaan serta figur ketokohan yang tinggi dari Kades menjadi daya tarik dan patut untuk di perhitungkan oleh masing-masing pasangan calon Kepala Daerah.
Anda bisa membayangkan jikalau calon kepala daerah bisa mempengaruhi 1 (satu) orang Kades maka hasilnya bisa puluhan bahkan ratusan orang akan berbondong-bondong mengikuti arahan atau perintah dari Kades tersebut. Melihat peluang tersebut banyak calon kepala daerah mengincar dan merayu para Kades agar bisa bergabung dalam gerbong mereka. Oleh sebab itu tak heran jika Kades diibaratkan instrument politik akar rumput yang mampu menembus relung-relung terdalam kehidupan rakyat yang ia pimpin.
Namun politik praktis yang demikian itu haram dilakukan oleh seorang Kepala Desa beserta perangkatnya, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 29 menyebutkan “Kades dilarang membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan atau golongan tertentu. Kemudian dilarang menjadi pengurus partai politik. Serta dilarang ikut serta dan atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan atau pemilihan kepala daerah”, Pasal 30 ayat (1) berbunyi “Kepala Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.” Begitu pula dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada pasal 70 tegas melarang keterlibatan kepala desa dalam kampanye. "Kepala desa juga dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu paslon di kampanye''.
Berdasarkan penelusuran penulis, di Jawa Barat 6 (enam) Kades menjadi tersangka diduga ikut berkampanye dan menjadi tim sukses salah satu Calon Gubernur di Jawa Barat. Dengan ancaman hukuman pidana penjara paling singkat empat bulan atau paling lama 2 bulan atau atau denda paling sedikit Rp 200 juta atau paling banyak Rp 1 miliar.
Fenomena seperti ini harus di awasi ketat oleh Panwaslu guna menjamin netralitas dan terselenggaranya pilkada yang jujur dan bersih, karena Panwaslu dibentuk dalam rangka untuk mewujudkan hal tersebut.
Netralitas kepala desa sangat menunjang bagi terlaksana pemerintahan yang baik. Kepala desa fungsinya berperan sebagai aparatur negara yang ada di Desa yang bertugas melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kepada masyarakat dan memberdayakan masyarakat.
Kepala desa juga bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur dan adil. Karena itulah Kades harus netral dari berbagai hasutan politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pentingnya menjaga netralitas juga semestinya dijadikan sebagai suatu paham yang harus di junjung tinggi agar misi yang bersangkutan sebagai pelayan masyarakat tak terkontaminasi dengan kepentingan yang fragmatis. Ini tentu harus dipahami dan betul-betul dijaga oleh semua kepala desa agar tidak membuat sikap dan perilaku blunder.
*)Peneliti Institut Demokrasi dan Pemerintahan Daerah (Indepemda)
Posting Komentar