M. Erfa Redhani, ilustrasi Zulfian/beritabanjarmasin.com |
Menyoal Wacana Larangan Mantan Koruptor Nyaleg
BBCOM, Oleh: Muhammad Erfa Redhani*)
Geliat pelaksanaan pemilu 2019 telah mulai ramai diperbincangkan. Pemilu yang digelar pada 2019 nanti akan dilaksanakan secara serentak yaitu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Anggota DPD. Pelaksanaan pemilu 2019 diharapkan sesuai dengan asas pelaksanaan pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber dan jurdil). Dengan mengacu pada asas-asas penyelenggaraan pemilu tersebut diharapkan mampu menghasilkan produk demokrasi yang substansial yaitu terpilihnya anggota legislatif yang mumpuni dan bebas dari praktik-praktik koruptif. Sehingga output pemilu yang berkualitas tersebut juga berbanding lurus dan berdampak pada kualitas dan kinerja lembaga legislatif di Indonesia.
Tahapan-tahapan pelaksanaan pemilu 2019 pun sudah mulai dilaksanakan, mulai dari segala macam proses pendaftaran partai politik untuk menjadi peserta pemilu, pendaftaran bakal calon anggota DPD disetiap KPU Provinsi dan segala tahapan pemilu lainnya yang diharapkan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu.
Sejalan dengan tahapan tersebut, akhir-akhir ini muncul sebuah polemik yang terus menjadi perdebatan yaitu terkait dengan wacana KPU RI menerbitkan peraturan KPU (PKPU) kontroversial. Pasal 8 huruf j draft PKPU tersebut menyebutkan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, kabupaten dan kota adalah warga negara Indonesia yang harus memenuhi syarat, antara lain bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual, dan korupsi.
Oleh sebagian pihak, wacana yang akan dituangkan dalam draft PKPU tersebut merupakan ide segar, baru dan dianggap pro terhadap pemberantasan korupsi.
Draft PKPU tersebut dianggap menjadi alat untuk "menyuntik mati" para mantan terpidana korupsi, kejahatan seksual dan bandar narkoba untuk berlaga pada pesta demokrasi sehingga rakyat tidak disuguhkan calon-calon yang pernah cacat integritasnya. Dengan kata lain, para mantan terpidana korupsi, kejahatan seksual dan bandar narkoba tidak diberikan ruang sama sekali untuk menjadi kontestan dalam pesta demokrasi.
Namun dipihak lain, beberapa kalangan menolak dengan alasan bertentangan dengan hak asasi manusia yaitu dengan hak dipilih dan memilih dalam pemilu dan bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu karena ketiga jenis larangan tersebut tidak diatur secara rinci dalam UU tersebut.
Hak Dipilih dan Memilih
Salah satu substansi dan pengaturan hak asasi manusia di Indonesia adalah berkaitan dengan dijaminnya hak dipilih dan hak untuk memilih. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Ketentuan pasal tersebut bersangkut paut dengan hak politik setiap warga negara yang mesti dijunjung tinggi. UUD 1945 menghendaki agar setiap warga negara diberikan hak yang sama dalam bidang politik (hak dipilih dan memilih).
Berkaitan dengan hak dipilih dan memilih adalah merupakan hak setiap warga negara dalam pemilu yang menjadi substansi vital dalam sebuah negara demokrasi. Hal ini karena hak dipilih dan memilih bersangkut paut langsung dengan partisipasi warga negara dan mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat yang mesti dijunjung tinggi dalam pesta demokrasi.
Menurut AD Benoist, norma tertinggi demokrasi bukan soal jangkauan kebebasan dan kesamaan, tetapi ukuran tertingginya adalah partisipasi. UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia telah mengatur mengenai hak dipilih dan memilih. Pasal 43 pada bagian hak turut serta dalam pemerintahan menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara yuridis, hak memilih dan dipilih telah dijamin dalam instrumen hukum di Indonesia terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Namun penjaminan hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak memilih dan dipilih tidak serta merta dapat diberikan tanpa batasan. Hak tersebut dapat pula dibatasi. Dalam kajian hak asasi manusia dikenal istilah “derogable rights” (hak yang dapat dibatasi). Derogable rights adalah hak-hak asasi manusia yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM mengatur bahwa pembatasan hak atas manusia hanya dapat dibatasi dengan memenuhi beberapa unsur yaitu berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa (Pasal 73).
Pertanyaan yang kemudian muncul dari wacana larangan mantan terpidana korupsi kejahatan seksual, dan bandar narkoba menjadi konstestan dalam pemilu legislatif adalah apakah pembatasan tersebut dapat dilakukan hanya dengan mengaturnya dalam PKPU, padahal UU yang menjadi dasar penyelenggara pemilu (UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu) tidak melarang mantan terpidana korupsi, kejahatan seksual, dan bandar narkoba untuk menjadi calon anggota legislatif.
Masalah Hukum
Dalam UU Pemilu pasal 240 ayat (1) huruf g disebutkan bahwa salah satu syarat yang mesti dipenuhi oleh bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Ketentuan tersebut tidak mengatur pengecualian tindak pidana yang dikecualikan. Artinya, norma tersebut berlaku terhadap semua jenis tindak pidana yang ancamannya pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Hal ini berbeda dengan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang dalam penjelasannya mengecualikan dua jenis tindak pidana yaitu mantan terpidana kejahatan seksual dan bandar narkoba dilarang menjadi calon kepala daerah.
Sementara itu, Pasal 258 ayat (2) huruf c UU Pemilu mengatur untuk bakal calon anggota DPD disebutkan salah satu syaratnya adalah membuat pernyataan bermaterai bagi calon anggota DPD yang tidak pernah dipidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, atau surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan bagi calon yang pernah dijatuhi pidana. Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa persyaratan ini tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya, terhitung 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan publik yang dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang.
Ditinjau dari pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), ketentuan-ketentuan diatas baik yang mengatur tentang syarat menjadi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota maupun menjadi anggota DPD tidak tercantum bahwa mantan terpidana korupsi, kejahatan seksual, dan bandar narkoba tidak diperbolehkan menjadi calon. Artinya, tindak pidana yang dimaksud dalam UU Pemilu berlaku untuk semua tindak pidana.
Berkaitan dengan hal tersebut, PKPU yang masih dalam draft (PKPU bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) maupun PKPU Nomor 14 tahun 2018 tentang pencalonan DPD jelas bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi sebagai dasar pembentukannya yaitu UU No. 7 Tahun 2017p tentang pemilu. Dalam ilmu hukum dikenal asas “lex superiori derogat legi inferiori”, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Posisi PKPU merupakan peraturan teknis penjabaran dari UU Pemilu. PKPU tidak diperkenankan memuat norma baru yang tidak diatur dalam UU sebagai peraturan dasarnya. Dalam teorinya Hans Nawiasky tentang jenjang norma hukum, PKPU dapat dikategorikan dalam kelompok “Verordnung” (aturan pelaksana) yang posisinya berada di bawah UU dan berfungsi sebagai turunan/aturan pelaksana dari UU Pemilu. Sebagai aturan yang berada dibawah, tentunya tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Wacana untuk melarang mantan terpidana korupsi, kejahatan seksual, dan bandar narkoba untuk menjadi kontestan dalam pesta demokrasi merupakan hal yang patut untuk dipertimbangkan oleh pemangku kebijakan. Namun, pelaksanaannya mestinya tidak dilakukan dengan cara-cara yang berpotensi menabrak berbagai aturan hukum. Ada banyak hal yang dapat dilakukan. Misalnya, mengusulkan perubahan atas UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan memasukkan kententuan-kententuan larangan sebagaimana yang dibahas diatas. Kedua, jika dianggap genting, dapat pula mendorong presiden untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Ketiga, mendorong partai politik untuk mencalonkan kader-kadernya yang tidak memiliki catatan buruk. Keempat, tugas masyarakat sipil dan cendikiawan untuk melakukan kampanye bahwa caleg-caleg yang pernah punya catatan buruk tidak patut lagi untuk dipilih.
Tidak hanya terbatas pada tindak pidana korupsi, kejahatan seksual, dan bandar narkoba. Tetapi segala jenis tindak kejahatan lainnya yang pelakunya dianggap tindak berintegritas. Wallahu’alam.
*)Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjary
Posting Komentar