PALU, BBCOM - Kehidupan di area pengungsian bencana tentu berbeda dengan kehidupan pada umumnya, baik dari segi fasilitas yang tersedia sampai dengan hal remeh temeh lainnya.
foto: Relawan ACT Kalsel di Palu
Bagi kalangan aktivis kemanusiaan tentu saat terjadi bencana alam sebut saja seperti gempa, tsunami, banjir bandang dan sejenisnya menjadi ladang amal tersendiri bagi mereka.
Tanpa mengenal latar belakang ras, suku, agama dan antar golongan, aktivitas di tenda pengungsian menjadi wadah untuk menolong sesama sebagai wujud cinta sebagai makhluk Tuhan.
Itulah yang dialami Bagus Setiawan dan Nur Rima Anjani. Muda-mudi berusia 24 dan 20 tahun ini rela menghabiskan waktu berminggu-minggu demi tugas kemanusiaan.
Sebelumya ada lima orang yang di berangkatkan oleh tim relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Kalimantan Selatan. Namun mereka berdua bertahan lebih dari tiga pekan.
Bagus Setiawan mahasiswa STKIP PGRI Banjarmasin ini memulai dunia kerelawanan sejak belia, ia tercatat sebagai anggota aktif Palang Merah Indonesia (PMI). "Saya memang suka hal yang berkaitan dengan kemanusiaan," ujarnya.
Dari ceritanya, pertama kali sampai ia langsung ditempatkan di Kecamatan Sindue Tobata, Desa Alindau, pada 10 oktober 2018. Sebelum ke Palu, ia dan relawan lainnya dibawa melalui pesawat Hercules TNI dari Makassar ke Palu. "Tiba di Palu kita langsung gelar pemetaan," bebernya.
Walau pertama kali menjadi relawan yang keluar daerah, ia mengaku tetap ada kendala saat bercengkerama dengan warga setempat. "Karena beda kultur kali ya," celetuknya.
Tak beda jauh dengan Bagus, Rima Nur Anjani mahasiswi psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat merupakan satu-satunya relawan perempuan saat pertama datang ke Palu. "Dari sebelas orang cuma saya yang perempuan," tuturnya ketika ditemui di posko Sindue, Donggala.
Di posko Sindue, menurut dara kelahiran Banjarmasin, Kalimantan Selatan ini awal-awal tugasnya adalah mengurus administrasi dan rekap data. "Sering juga laporan bolak-balik ke posko pusat," jelasnya.
Ketika ditanya bagaimana tangapan orang tuanya?, Rima hanya tersenyum. "Ibu 100 persen mendukung penuh kok," imbuhnya.
Bahkan, perempuan pendiri Literasi Banua ini rela cuti kuliah karena ingin menyempurnakan tugas di tenda pengungsian. "Ini kan konsekuensi," ungkapnya sambil bercanda.
Sebelum berita ini rilis, Nur Rima Anjani telah pulang dari Palu ke Banjarmasin pada 4 November, begitu pula dengan Bagus Setiawan pada 5 November 2018. (ayo/sip)
Posting Komentar