KEBODOHAN sangat erat dengan kemiskinan. Jalan utama untuk memberantas kemiskinan ialah melawan kebodohan. Buku ibarat peluru untuk dijadikan senjata melawan kebodohan , apalagi di era digital sekarang ini senjata utama untuk berperang melawan kebodohan adalah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan tidak selalu didapatkan secara langsung dari seorang guru, dosen, ustadz dan lain sebagianya. Salah satu cara mendapatkan ilmu adalah dengan cara membaca buku. Buku tidak hanya merupakan hasil pemikiran intelektual melainkan hasil pengalaman dan perenungan batin. Maka tidak heran jika banyak buku yang menjadi peluru yang bisa menginsipiarasi dan memotivasi banyak orang.
Buku dan peluru keduanya sama namun nampak berbeda. Keduanya sama-sama berfungsi sebagai senjata untuk berperang. Hanya saja peluru lebih identic dengan kekerasan. Sedangkan buku lebih identik dengan memberantas kebodohan.
Di era digital 4.0 sekarang ini, musuh utama bangsa kita bukan lagi para penjajah yang dilengkapi dengan motor perang dan segudang amunisi, melainkan kebodohan masyarakat. Dalam konteks ini, buku tentu menjadi senjata yang tepat untuk melawannya.
Namun realitas masyarakat kita berkata lain diantara 61 negara , Indonesia menduduki posisi ke 60 dalam hal minat baca. Tentu hal ini menjadi sebuah kekhawatiran dan pukulan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ditengah upaya pemerintah dan masyarakat untuk memberantas kebodohan dan kemiskinan.
Namun, kita semua lupa bahwa kita tidak membawa senjata utama dan pamungkas untuk melawan kebodohan dan kemismikanan tersebut. Tentu penyebab rendahnya minat baca masyarakat kita dikarenakan berberapa hal, Pertama adalah budaya baca kita masih kalah dengan budaya menonton, indikasi ini bisa dilihat dengan mudah jika kita membandingkan jumlah orang yang berkunjung keperpustakaan (toko buku) dengan jumlah orang yang datang ke bioskop setiap harinya.
Mengeluarkan uang dalam jumlah yang cukup banyak untuk datang menonton ke bioskop tidak menjadi masalah , namun membeli buku yang harganya jauh lebih murah agak berat bahkan menjadi masalah. Kedua ketersediaan buku bacaan jauh dari kata ideal. Idealnya 1 orang dua buku namun yang terjadi saat ini adalah 15 ribu orang hanya 1 buku tentu hal ini menjadi suatu titk perhatian yang harus segera dibenahi. Dan terakhir, sulitnya masyakarat mendapatkan akses buku, di era digital 4.0 sekarang ini sudah seharusnya perpustakaan-perpustakaan di Indonesia sudah menyediakan akses ebook bagi generasi milineal yang melek teknologi agar memberikan kemudahaan dalam mengakses buku.
Franz Kafka, seorang cerpenis dan novelis Austria pernah mengatakan bahwa buku harus menjadi kapak untuk menghancurkan lautan beku di dalam diri kita. Tentu yang dimaksud dengan lautan beku adalah kebodohan di dalam diri kita. Dan kita lihat bagaimana hari ini bangsa kita yang sudah merdeka sejak 1945 masih saja dilanda krisis intelektual, moralitas dan ekonomi yang disebabkan karena kita masih belum bisa menjadikan buku sebagai peluru untuk memberantas kebodohan dan kemiskinan.
Penulis: Reza Fahlevi
Akademisi Universitas Lambung Mangkurat, Dosen Prodi PKN FKIP
Posting Komentar