Ustadz Taslimurrahman Lc |
BERITABANJARMASIN.COM - Mungkin terlintas perasaan berbeda ketika mendengar kata “gila” baik itu ucapan diri sendiri, orang lain atau membaca tulisan.
Dai muda Banua, ustadz Muhammad Taslimurrahman mengungkapkan bahwa kata 'gila' dalam kamus bahasa Indonesia adalah sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal).
Dalam bahasa Arab gila disebut dengan majnun ( مجنون ). Salah seorang penyair pada masa Dinasti Umayyah bernama Qais bin Mulawwah mendapat gelar Laila Majnun karena dia sangat mencintai perempuan bernama Laila. "Kata gila itu bisa dipakai untuk kata yang bermakna negatif tapi bisa juga bermakna positif," ujarnya kepada BeritaBanjarmasin.com, Jumat (5/4/2019).
Penggunaan kata gila tentu kembali kepada makna dasar yaitu orang yang terganggu atau dalam makna lain adalah orang yang berbeda dengan lainnya. Pada umumnya orang normal akan kelelahan saat melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki, akan lain ceritanya bagi orang gila. Mereka akan terus berjalan tidak memperdulikan sudah sampai mana mereka berjalan.
"Orang gila dalam istilah agama adalah orang yang terbebas dari semua kewajiban dari Allah baik shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya," ungkapnya.
Hal ini tentu tidak terlepas bahwa orang gila adalah orang yang kehilangan akal tidak bisa membedakan antara baik dan buruk. Selama seseorang itu gila maka amal perbuatannya tidak akan dihitung dia bebas melakukan apapun yang dikehendaki. Hanya saja ada sebuah kaidah Fiqih menyebutkan:
الإِتْلاَفُ يَسْتَوِيْ فِيْهِ الْمُتَعَمِّدُ وَالْجَاهِلُ وَالنَّاسِيْ
Perbuatan merusakkan barang orang lain hukumnya sama, apakah terjadi karena kesengajaan, ketidaktahuan, atau karena lupa.
Artinya adalah apabila ada orang gila merusak barang orang lain maka wali dari si gila itu tetap wajib mengganti barang yang dirusak. Orang gila bebas dari dosa dan pahala, bebas kemana saja tidak ada beban apapun. Yang lain puasa, dia bebas makan apa saja. (puji/sip)
Posting Komentar