Ilustrasi: net |
BERITABANJARMASIN.COM- DR Taufik Arbain, pengamat politik Kalsel, mengatakan pada pemilu kali ini terdapat catatan menarik. Terutama pada pemilu legislatif di Kalsel. Ada kabar baik dan kabar buruk. Apa itu?
Menurutnya Pemilu serentak, Pilpres yang berbarengan dengan Pileg menyisakan banyak hal. Akibat gegap gempita dan konsentrasi semua pihak pada proses dan pasca pencoblosan. "Sehingga terlupakan isu dan realitas yang berkembang berkaitan dengan pemilu legislatif," katanya kepada BeritaBanjarmasin.com, Rabu (24/4/2019).
Dikatakannya, kabar baik yang dapat dicermati adalah; pertama, peserta pemilu telah menjalankan tahapan dengan baik, seperti melakukan sosialisasi dan kampanye sebagaimana diatur dalam kepemiluan. “Kita sangat mengapresiasi mereka yang mencoba memenangkan hati rakyat siang dan malam tanpa lelah untuk menegaskan proses demokrasi dan pendidikan politik rakyat.
Setidaknya warga diajak tahu berkaitan dengan hak-haknya atas politik, kebijakan dan pembangunan,” ujarnya.
Kedua, menurutnya proses pengetahuan politik yang telah dididik oleh para caleg sehingga mendorong mereka berpartisipasi hingga meningkat mencapai 80-90 persen jauh dari pemilu sebelumnya dengan kondisi yang aman.
Ketiga, perolehan kursi masing-masing partai memungkinkan terdistribusi merata dengan sistem pembagian sainte lague 1,3,5,7. “Hanya saja relatif merugikan jika suara partai besar dan mendekati sama antar partai, maka harga kursi pembagi pertama lebih mahal," urai pengamat politik dan kebijakan Publik FISIP ULM tersebut.
Namun kata dia¸ ada kabar buruk yang menjadi kecemasan semua pihak. Pertama, ada pihak-pihak yang melakukan proses demokrasi dengan baik, sesuai tahapan dan prosedur tetapi harus terkalahkan oleh gerakan money politics yang massif, militan, dan terstruktur. Dalam peribahasa Banjar, "Panas satahun kalah dapat hujan sahari."
Kedua, adanya inovasi dan model baru yang massif dalam money politics, yakni pembusukan etika relasi partai politik, berupa tandem yang bersifat heterogen lintas partai. Sesuatu yang boleh dibilang sangat jarang terjadi dalam pemilu di negara-negara demokrasi.
Sebab ideologis partai mengharuskan memenangkan semua tingkatan parlemen dan homogen. "Ini saya kira salah satu kecerdikan pemilu 2019, kalau adanya serangan fajar dan atau menjadikan seperempat pemilih dari TPS sebagai saksi dengan komitmen mencoblos partai dan caleg tertentu itu sudah biasa terjadi sebagai pengganti “salumur” gerakan money politics,” bebernya.
Ketiga, adanya dugaan transaksi jual beli suara yang dilakukan petugas kepemiluan dengan para caleg. Pola yang mereka lakukan adalah merebut suara-suara sisa yang dianggap tidak mungkin mendapatkan kursi dengan memindahkan kepada caleg yang telah bersepakat. Jika saksi tidak ada, atau faktor kompleksitasnya proses perhitungan yang maraton, maka memungkinkan hal ini berlangsung dengan rapi. “Inilah yang kadang membuat terjadinya keterkejutan-keterkejutan massal, ketika perhitungan di kecamatan,” ucapnya.
Keempat adalah penginputan data yang massif dimana dari sekian jumlah partai, memungkinkan terjadinya pengalihan suara dan minim terdeteksi. “Saat ini kan ribut terjadi “kerabunan” mata pengentry data,” ungkap alumnus Fisipol UGM ini.
Maka dari itu diharapkannya kedepan, Bawaslu harus memiliki kecerdasan mendeteksi soal-soal demikian, tidak sekadar memahami kepemiluan hanya soal prosedural, dan ranah hukum saja.
Orang-orang Bawaslu haruslah mereka yang punya kacakapan lebih, paham kemungkinan ada kecurangan untuk dicegah. Sayangnya sebagian besar mereka ini berkemampuan hanya dalam batasan memahami prodedural saja belum mampu melakukan jangkauan lebih jauh.
“Jadi saya kira Panwas dan Bawaslu tergantung dari tim seleksi yang menyaring mereka yang sama-sama memiliki niatan agar demokrasi bangsa ini berjalan dengan baik,” tukasnya.
Selain itu ujarnya, perlu ada inisiatif secara kultural bahwa petugas kepemiluan nampaknya perlu disumpah sebelum memulai acara pencoblosan untuk mengingatkan psikologis mereka kalau mereka harus amanah.
Harapan lain kata dia, negara ini perlu mendorong adanya Blok Politik Demokratik sebagaimana disarankan Olle Tornquist tahun 2000-an, dimana terdapat sekelompok aktor yang menyuarakan proses demokrasi yang jujur dan adil.
“Tapi pada pemilu 2019, kelompok aktor-aktor demokratis sangat sedikit dan tenggelam oleh aktor-aktor yang sudah terkooptasi dalam timsis resmi dan tak resmi masing-masing paslon presiden,” jelasnya.
Parahnya dikatakannya jika ada suara kritis atas fakta kontra demokrasi, maka aktor-aktor tersebut akan tertikam tuduhan pendukung salah satu paslon dan termarginalisasi politik. “Bangunan framing demikian justru mendorong pemunduran demokrasi kita, padahal sikap kritis itu dalam rangka mengisi kekurangan ruang partisipasi melalui partai politik.
"Jadi pemilu 2019, menjadi catatan penting untuk merangkakan demokratisasi yang lebih bermakna making democracy meaningful,” tutupnya. (maya/sip)
Posting Komentar