BERITABANJARMASIN.COM - Memasuki 2019, pekerja media di seluruh Indonesia masih dibayangi tiga persoalan besar, yaitu kekerasan, ancaman, dan turbulensi industri media, seperti yang dibahas, Sabtu (4/5/2019) bertempat di Cafe Upnormal Kayutangi Banjarmasin.
Diskusi ini menghadirkan pembicara yang ahli dibidangnya seperti, Daddy Fahmanadie dari klinik hukum DF, Uhaib As Ad selaku pengamat sosial dan pers Kalsel, Noviana Sari selaku Akademisi komunikasi ULM, Didi Gunawan Koordinator AJI Kalsel, Dhieno Yudhistira Praktisi Hukum dan Pengacara muda kantor hukum. Selain itu sejumlah mahasiswa dari FH ULM turut hadir dalam acara tersebut.
Diskusi membahas mengenai catatan akhir tahun 2018, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyoroti kebebasan pers di Indonesia yang situasinya belum menggembirakan, menurut data statistik Bidang Advokasi AJI Indonesia, setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis, peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik.
Jumlah ini lebih banyak dari tahun 2017 sebanyak 60 kasus, yang mengejutkan, tahun lalu AJI mencatat jenis kasus kekerasan baru yang berpotensi menjadi tren mengkhawatirkan ke depan, yaitu pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis berita atau komentar yang tak sesuai dengan aspirasi politik individu atau kelompok tertentu.
Individu atau kelompok yang tidak terima dengan sebuah pemberitaan kemudian membongkar identitas penulis lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan-tujuan negatif, AJI mengategorikan tindakan seperti ini sebagai doxing atau persekusi daring (dalam jaringan), kasus doxing biasanya berujung pada persekusi.
Sebelumnya, persekusi daring banyak menimpa warga sipil dan AJI bersama sejumlah organisasi masyarakat turut memberikan advokasi melalui Koalisi Antipersekusi, fenomena ini mengkhawatirkan karena cuitan di media sosial yang semestinya dilihat sebagai bagian dari kebebasan berekspresi seharusnya tidak disikapi dengan cara berlebihan yang merusak jati diri seseorang, bahkan berujung pada perburuan dan kekerasan, sampai pemidanaan.
Seluruh jurnalis hendaknya menyadari bahwa kebebasan pers adalah bagian dari kebebasan berekspresi, sehingga, sangat layaklah kebebasan milik kita semua ini harus terus-menerus diperjuangkan.
Kebebasan pers ini kemudian ditegaskan lagi lewat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 40 /1999 menggantikan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang ditambah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982. UU No. 40/1999 menegaskan tidak ada sensor dan pembredelan terhadap pers.
Pasal-pasal yang menegaskan kemerdekaan, fungsi dan pentingnya pers dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 adalah, Adapun Kemerdekaan pers diatur dalam Pasal 4 ayat (1) berbunyi Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, Pasal 4 ayat (2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, Pasal 4 ayat (3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Undang-Undang tentang Pers memberi sanksi kepada mereka yang menghalang-halangi kerja wartawan, maka dari itu, Peran penting oleh semua pihak baik para jurnalis, akademisi dan seluruh pekerja media, untuk bersama-sama bangkit melawan kekerasan, pemberangusan, dan turbulensi industri media. (fitri/sip)
Posting Komentar