1 Juni diperingati sebagai hari lahir Pancasila, terlepas dari pro dan kontra terkait dengan hari lahirnya. Ada beberapa momentum yang bisa kita petik dalam rangka memperingati hari Pancasila hari ini, diantaranya yakni Demokrasi dan Pancasila yang pada hakikatnya berpijak di atas asas hal yang sama, yakni “nilai persamaan”.
Bung Karno mengatakan Pancasila dalam kerangka yang ia sebut “kita bersama-sama mencari persatuan Philosophische gronslag, dan mencari satu “Weltanschauung” yang kita semua setuju, yang diambil dari nilai-nilai bangsa sendiri yang sudah ada beratus-beratus tahun sebelumnya.
Sebagai ideologi, Pancasila yang semula “hanya” merupakan gagasan, ide, cita-cita bersama itu harus dapat ditanamkan (internalisasi) dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat menjadi nilai-nilai yang diyakini dan dijadikan pegangan hidup bangsa, sehingga gagasan, ide dan cita-cita bersama itu dapat mewujud dalam kehidupan nyata.
Salah satu langkah krusialnya adalah dijadikannya Pancasila sebagai dasar Negara yang menempatkannya sebagai sumber tata nilai kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Dalam perjalanannya, sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945, upaya internalisasi dan pengembangan Pancasila sebagai ideologi bangsa tidak selalu berjalan mulus, salah satu permasalahan yang mendasar adalah perkembangan demokrasi berjalan terkesan salah arah dan haluan.
Dalam satu kesempatan Presiden Joko Widodo menyesalkan bahwa demokrasi di Indonesia sudah terlalu bebas dan kebablasan. Jika ditelisik, merujuk pada penelitian riset Mahmud MD menunjukan bagaimana demokrasi dalam sekujur sejarah modern dari republik ini mengalami berkali-kali perubahan tafsir, rumusan, hingga implementasinya. Riset ini pun membuktikan bagaiman perubahan itu ternyata ditentukan atau tergantung dengan rezim apa yang berkuasa pada masa itu.
Kita semua tahu, berapa dan apa saja rezim yang telah pernah memegang tumpuk kekuasaan sejak Soekarno-Hatta di awal masa proklamasi. Sejumlah itulah demokrasi pun berubah, di wajah rezim itu pula karakter demokrasi ditentukan. Sebuah kenyataan historis yang memerlihatkan betapa kuatnya usaha bangsa Indonesia, terutama elitenya dalam mempertahankan demokrasi sebagai tata cara bermasyarakat dan bernegara, dan menjadi fundamen dari bentuk pemerintahan.
Bahkan pandangan sebagain orang justru demokrasi dipandang bertolak belakang dan dipertantangkan dengan Pancasila. Pertentangan itu selain telah mendangkalkan Pancasila secara filosofis juga tidak mendasar karena lebih merupakan hasil politisasi kekuasaan pada masa itu. Pancasila sesungghunya mensyaratkan demokrasi dan sebaliknya, demokrasi pun mensyaratkan Pancasila.
Maka dari itulah pentingnya usaha untuk merevitalisasi Pancasila dengan tujuanya adalah agar perjalanan demokrasi atau proses demokratisasi bangsa kita berjalan lurus dengan ideologi dan dasar negara kita. Agar tidak terjadi kembali miskonsepsi mengenai bentuk demokrasi yang seharusnya dijalankan dan dimplementasikan untuk bangsa kita.
Merevitalisasi Pancasila berarti sebagai usaha mengembalikan Pancasila kepada subjeknya yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggaran negara dan pemerintahan. Maka dari itu Pancasila perlu diajarkan dalam kaitannya dengan perkembangan sistem demokrasi serta pembuatan atau evaluasi atas kebijakan publik selain dibicarakan sebagai dasar negara.
Demokrasi Kita (Pancasila).
Karena Pancasila telah kita akui dan terima sebagai Falsafah dan Pandangan Hidup Bangsa serta Dasar Negara, maka Pancasila harus menjadi landasan pelaksanaan demokrasi Indonesia. Kalau kita membandingkan dengan demokrasi Barat yang sekarang menjadi acuan bagi kebanyakan, khususnya kaum pakar politik Indonesia, ada perbedaan yang mencolok sebagai akibat perbedaan pandangan hidup, di antaranya sebagai berikut : Pertama, Perbedaan prinsipiil atau mendasar dalam pandangan hidup Barat dan Indonesia adalah tempat Individu dalam pergaulan hidup. Dalam pandangan Barat individu adalah mahluk otonom yang bebas sepenuhnya untuk mengejar semua kehendaknya.
Bung Karno mengatakan Pancasila dalam kerangka yang ia sebut “kita bersama-sama mencari persatuan Philosophische gronslag, dan mencari satu “Weltanschauung” yang kita semua setuju, yang diambil dari nilai-nilai bangsa sendiri yang sudah ada beratus-beratus tahun sebelumnya.
Sebagai ideologi, Pancasila yang semula “hanya” merupakan gagasan, ide, cita-cita bersama itu harus dapat ditanamkan (internalisasi) dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat menjadi nilai-nilai yang diyakini dan dijadikan pegangan hidup bangsa, sehingga gagasan, ide dan cita-cita bersama itu dapat mewujud dalam kehidupan nyata.
Salah satu langkah krusialnya adalah dijadikannya Pancasila sebagai dasar Negara yang menempatkannya sebagai sumber tata nilai kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Dalam perjalanannya, sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945, upaya internalisasi dan pengembangan Pancasila sebagai ideologi bangsa tidak selalu berjalan mulus, salah satu permasalahan yang mendasar adalah perkembangan demokrasi berjalan terkesan salah arah dan haluan.
Dalam satu kesempatan Presiden Joko Widodo menyesalkan bahwa demokrasi di Indonesia sudah terlalu bebas dan kebablasan. Jika ditelisik, merujuk pada penelitian riset Mahmud MD menunjukan bagaimana demokrasi dalam sekujur sejarah modern dari republik ini mengalami berkali-kali perubahan tafsir, rumusan, hingga implementasinya. Riset ini pun membuktikan bagaiman perubahan itu ternyata ditentukan atau tergantung dengan rezim apa yang berkuasa pada masa itu.
Kita semua tahu, berapa dan apa saja rezim yang telah pernah memegang tumpuk kekuasaan sejak Soekarno-Hatta di awal masa proklamasi. Sejumlah itulah demokrasi pun berubah, di wajah rezim itu pula karakter demokrasi ditentukan. Sebuah kenyataan historis yang memerlihatkan betapa kuatnya usaha bangsa Indonesia, terutama elitenya dalam mempertahankan demokrasi sebagai tata cara bermasyarakat dan bernegara, dan menjadi fundamen dari bentuk pemerintahan.
Bahkan pandangan sebagain orang justru demokrasi dipandang bertolak belakang dan dipertantangkan dengan Pancasila. Pertentangan itu selain telah mendangkalkan Pancasila secara filosofis juga tidak mendasar karena lebih merupakan hasil politisasi kekuasaan pada masa itu. Pancasila sesungghunya mensyaratkan demokrasi dan sebaliknya, demokrasi pun mensyaratkan Pancasila.
Maka dari itulah pentingnya usaha untuk merevitalisasi Pancasila dengan tujuanya adalah agar perjalanan demokrasi atau proses demokratisasi bangsa kita berjalan lurus dengan ideologi dan dasar negara kita. Agar tidak terjadi kembali miskonsepsi mengenai bentuk demokrasi yang seharusnya dijalankan dan dimplementasikan untuk bangsa kita.
Merevitalisasi Pancasila berarti sebagai usaha mengembalikan Pancasila kepada subjeknya yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggaran negara dan pemerintahan. Maka dari itu Pancasila perlu diajarkan dalam kaitannya dengan perkembangan sistem demokrasi serta pembuatan atau evaluasi atas kebijakan publik selain dibicarakan sebagai dasar negara.
Demokrasi Kita (Pancasila).
Karena Pancasila telah kita akui dan terima sebagai Falsafah dan Pandangan Hidup Bangsa serta Dasar Negara, maka Pancasila harus menjadi landasan pelaksanaan demokrasi Indonesia. Kalau kita membandingkan dengan demokrasi Barat yang sekarang menjadi acuan bagi kebanyakan, khususnya kaum pakar politik Indonesia, ada perbedaan yang mencolok sebagai akibat perbedaan pandangan hidup, di antaranya sebagai berikut : Pertama, Perbedaan prinsipiil atau mendasar dalam pandangan hidup Barat dan Indonesia adalah tempat Individu dalam pergaulan hidup. Dalam pandangan Barat individu adalah mahluk otonom yang bebas sepenuhnya untuk mengejar semua kehendaknya.
Bahwa individu membentuk kehidupan bersama dengan individu lain adalah karena dorongan rasionya untuk memperoleh keamanan dan kesejahteraan yang terjamin.
Sebaliknya dalam pandangan Indonesia individu adalah secara alamiah bagian dari kesatuan lebih besar, yaitu keluarga, sehingga terjadi Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan. Oleh sebab itu pandangan bangsa Indonesia adalah bahwa hidup merupakan Kebersamaan atau Kekeluargaan. Individu diakui dan diperhatikan kepentingannya untuk mengejar yang terbaik baginya, tetapi itu tidak lepas dari kepentingan Kebersamaan / Kekeluargaan.
Kedua, Kalau pelaksanaan demokrasi Barat dinamakan sekuler dalam arti bahwa tidak ada faktor Ketuhanan (religi) yang mempengaruhinya, sebaliknya demokrasi Indonesia tidak dapat lepas dari faktor Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila. Meskipun NRI bukan negara berdasarkan agama atau negara agama, namun ia bukan pula negara sekuler yang menolak faktor agama dalam kehidupan bernegara. Yudi latif mengatkan disinilah bertemuanya daulat Tuhan dengan daulat rakyat.
Ketiga, Demokrasi Barat cenderung diekspresikan dalam urusan kepentingan politik mengejar kemenangan dan kekuasaan. Sedangakan di Indonesia berdasarkan Pancasila demokrasi dilaksanakan melalui Musyawarah untuk Mufakat. Namun demikian, kalau musyawarah tidak kunjung mencapai mufakat sedangkan keadaan memerlukan keputusan saat itu, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian didasarkan jumlah suara. Maka dalam hal ini voting dilakukan karena faktor Manfaat, terbalik dari pandangan demokrasi Barat.
Revitalisasi Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan dasar negara ini kembali sebagai pembicaraan publik, sehingga masyarakat merasakan bahwa Pancasila masih ada, dan masih dibutuhkan serta tentunya masih sangat relevan bagi bangsa Indonesia.
Selain itu Revitalisasi Pancasila memerlukan keberanian moral para pemimpin bangsa dalam berbagai tingkatan, baik pemimpin formal maupun informal. Kegagalan membawa pancasila ke dalam wacana dan kesadaran public dapat berujung pada tragedi negara bangsa Indonesia. Dan mengembalikan marwah Pancasila sebagai rumah demokrasi kita.
*Oleh:
Reja Fahlevi
Dosen Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan FKIP ULM
Sebaliknya dalam pandangan Indonesia individu adalah secara alamiah bagian dari kesatuan lebih besar, yaitu keluarga, sehingga terjadi Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan. Oleh sebab itu pandangan bangsa Indonesia adalah bahwa hidup merupakan Kebersamaan atau Kekeluargaan. Individu diakui dan diperhatikan kepentingannya untuk mengejar yang terbaik baginya, tetapi itu tidak lepas dari kepentingan Kebersamaan / Kekeluargaan.
Kedua, Kalau pelaksanaan demokrasi Barat dinamakan sekuler dalam arti bahwa tidak ada faktor Ketuhanan (religi) yang mempengaruhinya, sebaliknya demokrasi Indonesia tidak dapat lepas dari faktor Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila. Meskipun NRI bukan negara berdasarkan agama atau negara agama, namun ia bukan pula negara sekuler yang menolak faktor agama dalam kehidupan bernegara. Yudi latif mengatkan disinilah bertemuanya daulat Tuhan dengan daulat rakyat.
Ketiga, Demokrasi Barat cenderung diekspresikan dalam urusan kepentingan politik mengejar kemenangan dan kekuasaan. Sedangakan di Indonesia berdasarkan Pancasila demokrasi dilaksanakan melalui Musyawarah untuk Mufakat. Namun demikian, kalau musyawarah tidak kunjung mencapai mufakat sedangkan keadaan memerlukan keputusan saat itu, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian didasarkan jumlah suara. Maka dalam hal ini voting dilakukan karena faktor Manfaat, terbalik dari pandangan demokrasi Barat.
Revitalisasi Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan dasar negara ini kembali sebagai pembicaraan publik, sehingga masyarakat merasakan bahwa Pancasila masih ada, dan masih dibutuhkan serta tentunya masih sangat relevan bagi bangsa Indonesia.
Selain itu Revitalisasi Pancasila memerlukan keberanian moral para pemimpin bangsa dalam berbagai tingkatan, baik pemimpin formal maupun informal. Kegagalan membawa pancasila ke dalam wacana dan kesadaran public dapat berujung pada tragedi negara bangsa Indonesia. Dan mengembalikan marwah Pancasila sebagai rumah demokrasi kita.
*Oleh:
Reja Fahlevi
Dosen Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan FKIP ULM
Posting Komentar