BERITABANJARMASIN.COM - Budi Kurniawan, jurnalis senior Kalimantan Selatan berujar di era digital seperti sekarang menurutnya memang susah membedakan antara berita hoax dan tidak. Untuk itu, diperlukan kecerdasan masyarakat dalam memahami berita.
Jika dulu jurnalis dan media yang dituntut untuk cerdas dalam menulis berita, sekarang pembaca juga dituntut cerdas dalam membaca berita. "Bukan hanya media yang dituntut cerdas tetapi juga pembaca agar dapat memahami berita palsu dan tidak," jelasnya.
Hal ini disampaikan Budi pada paparan materi dirinya yang didapuk menjadi salah satu narasumber pada diskusi dan buka puasa bersama antariman di Aula Gereja Hati Yesus yang Maha Kudus Banjarmasin, Kamis (23/5/2019) malam.
Dikatakannya, memang tidak ada pilihan lain selain melakukan literasi ditengah arus generasi hari ini yang merupakan generasi penonton dan bukan generasi membaca. Dirinya mengambil contoh anak-anak jika main game bisa tahan berjam-jam dalam sehari, namun tidak jika disuguhi buku untuk membaca. "Kalau main game bisa sampai besok, Tapi kalau suruh baca buku dua lembar tidur," cetusnya.
Budi menambahkan, saat ini di Indonesia ada suatu yang rusak dalam otak publik hari ini. Dimana ada penumpang gelap dalam demokrasi yang memproduksi hal-hal yang kontra demokrasi yang kemudian hal tersebut dapat merusak simpul utama bangsa yakni suku, agama, ras. Khususnya kasus sara yang seolah menjadi jerami kering yang mudah terbakar.
Menurutnya, perubahan media tidak bisa dilawan tapi trend yang harus dihadapi.
Untuk itu, penyampaian kampanye tentang kerukunan dan keberagaman agama harus bergeser sedikit mengikuti zaman, seperti membuat film dokumenter dan sebagainya.
Jurnalis senior Kalsel ini berujar jika menyambung soal hukum, Media punya Undang-undang tentang pers. Juga ada undang ITE yang mengatur tentang konten. "Memang ada kebebasan berpendapat tapi juga ada undang-undang ITE yang mengaturnya," tandasnya. (puji/sip)
Jika dulu jurnalis dan media yang dituntut untuk cerdas dalam menulis berita, sekarang pembaca juga dituntut cerdas dalam membaca berita. "Bukan hanya media yang dituntut cerdas tetapi juga pembaca agar dapat memahami berita palsu dan tidak," jelasnya.
Hal ini disampaikan Budi pada paparan materi dirinya yang didapuk menjadi salah satu narasumber pada diskusi dan buka puasa bersama antariman di Aula Gereja Hati Yesus yang Maha Kudus Banjarmasin, Kamis (23/5/2019) malam.
Dikatakannya, memang tidak ada pilihan lain selain melakukan literasi ditengah arus generasi hari ini yang merupakan generasi penonton dan bukan generasi membaca. Dirinya mengambil contoh anak-anak jika main game bisa tahan berjam-jam dalam sehari, namun tidak jika disuguhi buku untuk membaca. "Kalau main game bisa sampai besok, Tapi kalau suruh baca buku dua lembar tidur," cetusnya.
Budi menambahkan, saat ini di Indonesia ada suatu yang rusak dalam otak publik hari ini. Dimana ada penumpang gelap dalam demokrasi yang memproduksi hal-hal yang kontra demokrasi yang kemudian hal tersebut dapat merusak simpul utama bangsa yakni suku, agama, ras. Khususnya kasus sara yang seolah menjadi jerami kering yang mudah terbakar.
Menurutnya, perubahan media tidak bisa dilawan tapi trend yang harus dihadapi.
Untuk itu, penyampaian kampanye tentang kerukunan dan keberagaman agama harus bergeser sedikit mengikuti zaman, seperti membuat film dokumenter dan sebagainya.
Jurnalis senior Kalsel ini berujar jika menyambung soal hukum, Media punya Undang-undang tentang pers. Juga ada undang ITE yang mengatur tentang konten. "Memang ada kebebasan berpendapat tapi juga ada undang-undang ITE yang mengaturnya," tandasnya. (puji/sip)
Posting Komentar