SEBAGAI salah satu negara yang demokratis, maka penyelenggaraan pemilihan umum adalah sebuah keniscayaan yang dilakukan oleh negara Indonesia. Pada 17 April lalu Indonesia telah melaksanakan pesta demokrasi yakni pemilihan umum serentak.
Hal ini merupakan pengalaman pertama bagi Indonesia. Selain memilih Presiden dan Wakil Presiden, masyarakat juga memilih wakil rakyat yang akan duduk dalam parlemen, yang biasa kita kenal dengan sebutan anggota legislatif.
Adapun dari hasil lengkap pemilu legislatif yang ditetapkan oleh KPU, terdapat sembilan partai yang telah lolos ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) dari enam belas partai peserta pemilu.
P
tersebut yakni PDIP (19,33%), Gerindra (12,57%), Golkar (12,31%), PKB (9,05%), Nasdem (9,05%), PKS (8,21%),Demokrat (7,77%) PAN (6,84) dan PPP (4,52%) (Versi Kompas.com).
Artinya, terdapat tujuh partai peserta pemilu yang belum berhasil menempuh persentase ambang batas parlemen. Tujuh partai tersebut yaitu partai Perindo (2,67%), Berkarya (2,09%), PSI (1,89%), Hanura (1,54%), PBB (0,79%), Garuda (0,50%), dan PKPI (0,22%).
Flashback pada pemilu tahun 2009 lalu, konsep ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) diterapkan sebesar 2,5% yang mengacu dalam Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Selanjutnya, pada pemilu tahun 2014 menetapkan ambang batas parlemen sebesar 3,5%, hal ini tercantum dalam Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Peningkatan angka sebesar 1% pada besaran persentase ambang batas parlemen di pemilu 2009 dengan pemilu 2014. Sedangkan pada pemilu tahun 2019 berdasarkan Pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017, ambang batas parlemen yang diterapkan sebesar 4%.
Besaran persentase ambang batas parlemen pada pemilu tahun 2009, 2014 dan 2019 tersebut, terus terjadi peningkatan persentase dalam tiap pemilu yang menunjukkan hasil dari resultante politik. Hal ini banyak menimbulkan asumsi bahwa peningkatan persentase ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) dianggap merupakan pertarungan elite politik yang menghalangi partai baru atau partai kecil untuk duduk dalam parlemen. Terbukti seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak ada partai baru yang lolos ambang batas parlemen di pemilu 2019 seperti Partai Perindo, PSI, Berkarya, Garuda dan PKPI.
Namun, jika kita ingat kembali pendapat Juan Linz yang mengatakan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multipartai cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil, dimana pendapat ini juga diperkuat oleh Scot Mainwaring yang menurutnya sistem presidensial dan sistem multipartai akan melahirkan pemerintahan yang terbelah.
Maka, berangkat dari pendapat tersebut, sistem pemerintahan presidensial harus keluar dari perangkap sistem multipartai. Salah satu jalannya dengan melakukan penyederhanaan sistem kepartaian. Menjadi sangat wajar jika pemerintah terus meningkatkan persentase konsep ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) guna mengatasi ketidakstabilan pemerintahan, dimana besaran ambang batas parlemen yang diterapkan pada pemilu tahun 2009 dan pemilu tahun 2014 dianggap belum efektif dalam menyederhanakan partai politik di parlemen.
Hal ini terbukti dengan terjadinya praktik-praktik sistem pemerintahan presidensial yang tidak efektif dan berdampak pada kebijakan-kebijakan yang lahir dari banyak kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan deadlock. Kemudian muncul pertanyaan apakah 4% ambang batas parlemen yang diterapkan di pemilu 2019 dengan lolosnya 9 partai politik dapat dikatakan efektif?
Menurut penulis, ambang batas parlemen sebesar 4% yang diterapkan pada pemilu 2019 ini dengan melihat jumlah partai politik yang lolos di parlemen dapat dikatakan belum terlalu efektif untuk dapat menyederhanakan partai politik di parlemen. Hal ini dikarenakan hanya menaikan angka 0,5% dari pemilu tahun 2014 dan hanya berhasil menurunkan satu angka dari jumlah partai politik di parlemen pada pemilu tahun 2014 yang berjumlah sepuluh partai sedangkan pemilu 2019 berhasil meloloskan sembilan partai. Padahal idealnya hanya sekitar empat bahkan lima partai saja yang duduk di parlemen agar pemerintahan berjalan lebih efektif.
Jika jumlah partai politik yang memperoleh kursi di parlemen dapat berkurang dari jumlah sembilan partai maka pemerintahan presidensialisme akan efektif dan stabilitas pemerintahan akan terjaga. Namun, jumlah partai politik yang lolos ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) pada 17 April lalu masih tergolong banyak, khawatirnya pada saat pengambilan kebijakan-kebijakan akan berdampak pada stabilitas pemerintahan sehingga stabilitas pemerintahan menjadi tidak stabil akibat banyaknya partai politik yang jelas memiliki banyak kepentingan.
Oleh karena itu, kombinasi antara sistem presidensial dengan sistem multipartai tidak mendorong stabilitas demokrasi karena kombinasi ini mudah menimbulkan berbagai kesulitan dan kendala dalam hubungan antara Presiden dengan anggota parlemen.
Agar dapat berjalan efektif, maka penting untuk pemerintah meneruskan langkah-langkah kebijakan agar permasalahn tersebut terpecahkan sehingga menurut penulis harapannya DPR dan Pemerintah perlu untuk mengkaji ulang terkait besaran ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) yang ideal untuk mewujudkan sistem multipartai yang sederhana. Salah satunya dengan cara meningkatkan “lagi” besaran angka ambang batas parlemen.
Sebagai perbandingan berdasarkan pada pengalaman sejumlah negara di dunia penerapan ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) demikian beragam misalnya Turki 10%, Finlandia 5,4%, Jerman 5%, Belgia 4,8%, Swedia 4%, Norwegia 4%, Yunani 3,3%, Austria 2,6%, Italia 2%, Israel 2%, Denmark 1,6% dan Belanda 0,7% (Ellydar Chaidir dan Suparto, 2019.10).
Penulis: Adlina Adelia, SH, MH.
Akademisi UIN Antasari Banjarmasin
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII
Akademisi UIN Antasari Banjarmasin
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII
*Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis, dan di luar tanggung jawab redaksi Berita Banjarmasin.
Posting Komentar