BERITABANJARMASIN.COM - Wakil ketua Ikatan Da’i Wilayah Kalsel, ustadz Muhammad Rudi Firdaus menyampaikan kunci bahagia dunia dan akhirat. Lalu apa sih kunci tersebut?
Menurut ustadz Rudi hal ini sudah disampaikan oleh Rasulullah Saw. Dari Abu Ayyub al-Anshâri Radhiyallahu anhu, "berilah aku nasihat dengan ringkas (dalam riwayat lain) Ajarilah aku dengan ringkas. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “jika kamu berdiri hendak melaksanakan shalat, maka shalatlah sebagaimana shalat orang yang pergi selamanya. Janganlah kamu mengucapkan satu perkataan yang kamu akan meminta maaf karenanya pada esok harinya; bertekadlah untuk tidak mengharapkan apa yang dimiliki orang lain.” (HR. Imam Ahmad, no. 23498 dan Ibnu Majah, no. 4171).
Dari hadits di atas ustadz Muhammad Rudi Firdaus menjelaskan kandungan dari hadits di atas ialah hendaknya orang yang melaksanakan shalat agar mengerjakannya dengan bersungguh-sungguh sebagaimana orang yang mengerjakan shalatnya yang terakhir.
Dia tahu dirinya tidak bisa lagi mengerjakan shalat setelah itu. Jika seseorang yang mengerjakan shalat merasa bahwa itu adalah shalat terakhir yang bisa dilakukan, dia tidak bisa mengerjakan shalat setelah itu, maka pasti dia akan bersungguh-sungguh.
Dia pasti akan mengerjakannya dengan tumakninah. Berusaha menyempurnakan semua rukun-rukunnya, seperti ruku dan sujudnya juga, hal yang diwajibkan atau bahkan hal-hal yang disunnahkan tidak akan diabaikan.
Kemudian yang kedua, shalat yang ditunaikan dengan tumakninah, akan membimbing pelakunya kepada semua kebaikan hidup, menjadi mata penenang jiwa. Lisan manusia termasuk anggota badan yang paling berbahaya.
Jika sebuah kalimat atau ucapan belum keluar dari mulut seseorang, maka itu artinya si pemilik lisan masih bisa mengendalikan kalimat yang belum terucap tersebut dan ia menjadi penguasa baginya.
Namun jika suatu kalimat atau perkataan sudah terlontarkan dari lisan, maka kalimat yang terucap itu akan menjadi penguasa atas si pengucap dan dia akan memaksanya untuk menanggung risiko ucapannya tersebut.
Adapun maksud dari: janganlah kamu mengucapkan suatu kalimat yang kamu akan meminta maaf karenanya pada esok harinya. Artinya, bersungguh-sungguhlah dalam menahan lisanmu agar tidak mengucapkan perkataan yang kamu akan menyesal.
Janganlah kamu mengucapkan suatu kalimat yang kamu akan meminta maaf karenanya pada esok harinya. “Dalam potongan kalimat ini, terdapat seruan, ajakan dan imbauan untuk selalu introspeksi diri dalam masalah ucapan-ucapan yang terlontar dari lisan.
Menurut ustadz Rudi hal ini sudah disampaikan oleh Rasulullah Saw. Dari Abu Ayyub al-Anshâri Radhiyallahu anhu, "berilah aku nasihat dengan ringkas (dalam riwayat lain) Ajarilah aku dengan ringkas. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “jika kamu berdiri hendak melaksanakan shalat, maka shalatlah sebagaimana shalat orang yang pergi selamanya. Janganlah kamu mengucapkan satu perkataan yang kamu akan meminta maaf karenanya pada esok harinya; bertekadlah untuk tidak mengharapkan apa yang dimiliki orang lain.” (HR. Imam Ahmad, no. 23498 dan Ibnu Majah, no. 4171).
Dari hadits di atas ustadz Muhammad Rudi Firdaus menjelaskan kandungan dari hadits di atas ialah hendaknya orang yang melaksanakan shalat agar mengerjakannya dengan bersungguh-sungguh sebagaimana orang yang mengerjakan shalatnya yang terakhir.
Dia tahu dirinya tidak bisa lagi mengerjakan shalat setelah itu. Jika seseorang yang mengerjakan shalat merasa bahwa itu adalah shalat terakhir yang bisa dilakukan, dia tidak bisa mengerjakan shalat setelah itu, maka pasti dia akan bersungguh-sungguh.
Dia pasti akan mengerjakannya dengan tumakninah. Berusaha menyempurnakan semua rukun-rukunnya, seperti ruku dan sujudnya juga, hal yang diwajibkan atau bahkan hal-hal yang disunnahkan tidak akan diabaikan.
Kemudian yang kedua, shalat yang ditunaikan dengan tumakninah, akan membimbing pelakunya kepada semua kebaikan hidup, menjadi mata penenang jiwa. Lisan manusia termasuk anggota badan yang paling berbahaya.
Jika sebuah kalimat atau ucapan belum keluar dari mulut seseorang, maka itu artinya si pemilik lisan masih bisa mengendalikan kalimat yang belum terucap tersebut dan ia menjadi penguasa baginya.
Namun jika suatu kalimat atau perkataan sudah terlontarkan dari lisan, maka kalimat yang terucap itu akan menjadi penguasa atas si pengucap dan dia akan memaksanya untuk menanggung risiko ucapannya tersebut.
Adapun maksud dari: janganlah kamu mengucapkan suatu kalimat yang kamu akan meminta maaf karenanya pada esok harinya. Artinya, bersungguh-sungguhlah dalam menahan lisanmu agar tidak mengucapkan perkataan yang kamu akan menyesal.
Janganlah kamu mengucapkan suatu kalimat yang kamu akan meminta maaf karenanya pada esok harinya. “Dalam potongan kalimat ini, terdapat seruan, ajakan dan imbauan untuk selalu introspeksi diri dalam masalah ucapan-ucapan yang terlontar dari lisan.
"Hendaklah kita merenung sebelum berucap, jika kita memandang ucapan itu mendatangkan kebaikan, maka ucapkanlah! Namun jika ucapan yang akan kita katakan itu buruk, maka hendaklah dia menahan diri,” ucap ustadz Muhammad Rudi Firdaus.
Kemudian yang ke empat menahan diri dari ucapan tidak berguna kunci keselamatan seseorang. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوِ لْيَصْمُتْ
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam. (HR. Al-Bukhâri, no. 6018 dan Muslim, Nomor 47).
Qanâ’ah, yaitu menggantungkan harapan hanya kepada Allâh Azza Wa Jalla sudah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan dalam hadits:
وَاجْمِعِ الْيَأْسَ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ
Bertekadlah untuk tidak mengharapkan apa yang dimiliki orang lain.
Ustadz Muhammad Rudi juga mengatakan bahwa maksud dari ayat di atas fokuskan hatimu Bertekadlah untuk tidak mengharapkan apa-apa yang dimiliki orang lain. Janganlah mengharapkan apapun dari mereka, Agar tidak sering kecewa.
Dan yang ke enam ialah orang mulia, adalah orang yang tidak menaruh harapan kepada semua yang dimiliki orang lain. Orang yang hatinya senantiasa bergantung kepada Allâh Azza wa Jalla dalam segala keadaan, dia tidak berharap kecuali kepada Allâh, tidak meminta kecuali kepada Allâh juga tidak bertawakkal kecuali kepada-Nya, maka pasti Allâh Azza wa Jalla akan memenuhi kebutuhannya di Dunia dan di Akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
Bukankah Allâh cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya. [Az-Zumar/39:36]
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allâh niscaya Allâh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allâh melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allâh telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. [Ath-Thalâq/65:3]. (fitri/sip)
Kemudian yang ke empat menahan diri dari ucapan tidak berguna kunci keselamatan seseorang. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوِ لْيَصْمُتْ
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam. (HR. Al-Bukhâri, no. 6018 dan Muslim, Nomor 47).
Qanâ’ah, yaitu menggantungkan harapan hanya kepada Allâh Azza Wa Jalla sudah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan dalam hadits:
وَاجْمِعِ الْيَأْسَ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ
Bertekadlah untuk tidak mengharapkan apa yang dimiliki orang lain.
Ustadz Muhammad Rudi juga mengatakan bahwa maksud dari ayat di atas fokuskan hatimu Bertekadlah untuk tidak mengharapkan apa-apa yang dimiliki orang lain. Janganlah mengharapkan apapun dari mereka, Agar tidak sering kecewa.
Dan yang ke enam ialah orang mulia, adalah orang yang tidak menaruh harapan kepada semua yang dimiliki orang lain. Orang yang hatinya senantiasa bergantung kepada Allâh Azza wa Jalla dalam segala keadaan, dia tidak berharap kecuali kepada Allâh, tidak meminta kecuali kepada Allâh juga tidak bertawakkal kecuali kepada-Nya, maka pasti Allâh Azza wa Jalla akan memenuhi kebutuhannya di Dunia dan di Akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
Bukankah Allâh cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya. [Az-Zumar/39:36]
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allâh niscaya Allâh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allâh melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allâh telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. [Ath-Thalâq/65:3]. (fitri/sip)
Posting Komentar