PERMASALAHAN Korupsi yang menggerogoti bangsa ini seolah-olah tiada kata akhirnya, hampir setiap hari kita mendengar ada saja oknum-oknum pejabat yang terjerat kasus korupsi,. Korupsi bagaikan virus yang sudah menyebar begitu luas, bak penyakit yang sulit untuk disembuhkan dan diagnosa dari mana datangnya. Penyakit ini ibarat Virus yang sudah menyebar dan menggerogoti aliran darah. Virus korupsi yang sudah merajalela dan mendarah daging di bangsa ini.
Komisi Pemberantasan Anti Korupsi dari ke tahun ke tahun terus berusaha untuk memberantas tindakan korupsti dan menangkapi pelaku-pelaku korupsi. Sesuai data KPK, sepanjang tahun ini saja, dari berbagai operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan lembaga antirasuah itu, ada enam kepala daerah terjaring atas dugaan tindak pidana korupsi. Mereka kini berstatus tersangka KPK. Sedangkan tahun sebelumnya tercatat 10 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi.
Secara keseluruhan, sejak 2004 hingga Juni 2018, data statistik KPK menyebutkan, ada 78 kepala daerah yang berurusan dengan KPK. Rinciannya, 18 orang gubernur dan 60 orang walikota atau bupati dan wakilnya. Data ini belum termasuk perjabat legislatif, yudikatif dan orang swasta yang terlibat korupsi.
Maraknya kasus ini membuktikan bahwa nilai-nilai Pancasila yang menjadi ideologi bangsa sudah tidak berjalan dengan baik dan semakin menyimpang dalam praktik bernegara. Nilai-nilai Pancasila pun seperti sudah ‘mati’ melawan virus korupsi yang semakin merajalela. Hal ini disebabkan karena virus korupsi begitu kuat. Oknum-oknum yang melakukan tindak korupsi (koruptor) bertindak tanpa mengindahkan hukum yang berlaku di negara ini. Mereka seolah-olah hidup tanpa berpedoman pada apa yang menjadi dasar negara mereka, terbukti dari dilanggarnya semua sila-sila yang ada.
Pengingkaran Pancasila
Korupsi hakikatnya adalah peingkaran terhadap nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi permusyawaratan dan keadilan. Sila pertama yang mengandung nilai ketuhanan menyatakan bahwa semua agama dan kepercayaan tidak ada yang mengatakan bahwa korupsi itu halal. Korupsi itu adalah mencuri uang rakyat yang semua agama jelas dengan tegas melarangnya, Tetapi, faktanya koruptor ‘mencuri’ hak semua warga negara di Indonesia.
Sila kedua yang mengandung nilai kemanusiaan dan keberadabaan menyatakan bahwa koruptor tidak menunjukkan sifat manusiawi, karena lebih mementingkan dirinya sendiri dan kelompolnya daripada kesejahteraan masyarakat luas. Serakah akan harta tanpa menghiraukan sifat manusiawi dan keberadabanya.
Sila ketiga mengandung nilai Persatuan, dengan maraknya praktik korupsi hari ini, hal itu bisa menimbulkan sekaligus ancaman perpecahan antar kelompok atau golongan di masyarakat hari. Sila keempat yang mengandung makna demokrasi permusyawaratan perwakilan, korupsi menyalahi kesepakatan hasil musyawarah yang dilandasi hikmat kebijaksanaan. korupsi menjadi perbuatan yang tidak bijaksana yang dilandasi persekongkolan segelintir orang tertentu, seharusnya diamanahi memusyawarahkan permasalahan rakyat, tetapi malah menggunakannya untuk mengenyangkan diri sendiri dan kelompoknya. Yang terakhir sila kelima keadilan sosial, yang hari kiranya sangat jauh dari harapan, salah satunya karena alokasi anggaran untuk kesejahteraan rakyat banyak diambil oleh mereka yang tidak berhak menerimanya.
Aktualisasi nilai Pancasila dalam praktik bernegara menjadi hal yang diharapkan saat ini. Hal ini disebabkan karena banyaknya kasus korupsi disebabkan karena nilai-nilai Pancasila belum dijalankan sepenuhnya oleh para aparat negara. “Meski peringatan hari lahirnya Pancasila sudah lewat, tetapi refleksi sudah sejauh mana aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa perlu terus ditanyakan.
N
Pejabat negara yang seyogyanya merupakan contah dan suri tauladan bagi rakyatnya, malah hari ini sekan-akan terkesan menjadi musuh dari pancasila itu sendiri. Jika berbicara mengenai karakter bangsa seharusnya dimulai dari petinggi-petinggi di negeri ini karena merekalah yang menjadi cermin bagi khalayak. Tapi bagaimana bangsa ini mau membentuk karakter yang baik jika para pemimpinnya malah korupsi.
Masyarakat juga harus optimis dan sadar bahwa korupsi bukan budaya tetapi penyakit negara yang harus dilawan dan diberantas karena sangat merusak nama Pancasila. Perilaku yang ditunjukkan oleh para koruptor jelas mencerminkan penghianatan dan pelecehan terhadap pancasila.
Oleh karena itu diperlukan peran aktif dari semua pihak baik pemangku jabatan, tokoh agama maupun tokoh masyarakat. Sampaikan secara secara terus menerus kepada masyarakat seputar nilai-nilai Pancasila. Berikan pemahaman bahwa korupsi adalah pernbuatan yang mekhinatti Pancasila serta bukanlah watak bangsa Indonesia yang luhur.
Pancasila mengandung nilai-nilai yang ideal, tapi teladannya yang masih dipertanyakan. satu nilai yang cuma surplus ungkapan tapi tanpa keteladanan sama halnya dengan omong kosong. Terutama dalam hal keteladanan ini adalah bagaimana cara kita melahirkan para penyelanggara negara yang betul-betul menjunjung cita-cita moral, cita-cita pemerintahan yang bersih. Dengan keteladan sehingga rakyat punya harapan. Jangan Pancasila itu hanya dijadikan cara negara mendisplinkan rakyatnya. rakyat juga berhak bahwa penyelangara ini juga bisa dipercaya dan bisa melayani. (*)
__
*Penulis:
Reja Fahlevi
Akademisi Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan
Komisi Pemberantasan Anti Korupsi dari ke tahun ke tahun terus berusaha untuk memberantas tindakan korupsti dan menangkapi pelaku-pelaku korupsi. Sesuai data KPK, sepanjang tahun ini saja, dari berbagai operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan lembaga antirasuah itu, ada enam kepala daerah terjaring atas dugaan tindak pidana korupsi. Mereka kini berstatus tersangka KPK. Sedangkan tahun sebelumnya tercatat 10 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi.
Secara keseluruhan, sejak 2004 hingga Juni 2018, data statistik KPK menyebutkan, ada 78 kepala daerah yang berurusan dengan KPK. Rinciannya, 18 orang gubernur dan 60 orang walikota atau bupati dan wakilnya. Data ini belum termasuk perjabat legislatif, yudikatif dan orang swasta yang terlibat korupsi.
Maraknya kasus ini membuktikan bahwa nilai-nilai Pancasila yang menjadi ideologi bangsa sudah tidak berjalan dengan baik dan semakin menyimpang dalam praktik bernegara. Nilai-nilai Pancasila pun seperti sudah ‘mati’ melawan virus korupsi yang semakin merajalela. Hal ini disebabkan karena virus korupsi begitu kuat. Oknum-oknum yang melakukan tindak korupsi (koruptor) bertindak tanpa mengindahkan hukum yang berlaku di negara ini. Mereka seolah-olah hidup tanpa berpedoman pada apa yang menjadi dasar negara mereka, terbukti dari dilanggarnya semua sila-sila yang ada.
Pengingkaran Pancasila
Korupsi hakikatnya adalah peingkaran terhadap nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi permusyawaratan dan keadilan. Sila pertama yang mengandung nilai ketuhanan menyatakan bahwa semua agama dan kepercayaan tidak ada yang mengatakan bahwa korupsi itu halal. Korupsi itu adalah mencuri uang rakyat yang semua agama jelas dengan tegas melarangnya, Tetapi, faktanya koruptor ‘mencuri’ hak semua warga negara di Indonesia.
Sila kedua yang mengandung nilai kemanusiaan dan keberadabaan menyatakan bahwa koruptor tidak menunjukkan sifat manusiawi, karena lebih mementingkan dirinya sendiri dan kelompolnya daripada kesejahteraan masyarakat luas. Serakah akan harta tanpa menghiraukan sifat manusiawi dan keberadabanya.
Sila ketiga mengandung nilai Persatuan, dengan maraknya praktik korupsi hari ini, hal itu bisa menimbulkan sekaligus ancaman perpecahan antar kelompok atau golongan di masyarakat hari. Sila keempat yang mengandung makna demokrasi permusyawaratan perwakilan, korupsi menyalahi kesepakatan hasil musyawarah yang dilandasi hikmat kebijaksanaan. korupsi menjadi perbuatan yang tidak bijaksana yang dilandasi persekongkolan segelintir orang tertentu, seharusnya diamanahi memusyawarahkan permasalahan rakyat, tetapi malah menggunakannya untuk mengenyangkan diri sendiri dan kelompoknya. Yang terakhir sila kelima keadilan sosial, yang hari kiranya sangat jauh dari harapan, salah satunya karena alokasi anggaran untuk kesejahteraan rakyat banyak diambil oleh mereka yang tidak berhak menerimanya.
Aktualisasi nilai Pancasila dalam praktik bernegara menjadi hal yang diharapkan saat ini. Hal ini disebabkan karena banyaknya kasus korupsi disebabkan karena nilai-nilai Pancasila belum dijalankan sepenuhnya oleh para aparat negara. “Meski peringatan hari lahirnya Pancasila sudah lewat, tetapi refleksi sudah sejauh mana aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa perlu terus ditanyakan.
N
Pejabat negara yang seyogyanya merupakan contah dan suri tauladan bagi rakyatnya, malah hari ini sekan-akan terkesan menjadi musuh dari pancasila itu sendiri. Jika berbicara mengenai karakter bangsa seharusnya dimulai dari petinggi-petinggi di negeri ini karena merekalah yang menjadi cermin bagi khalayak. Tapi bagaimana bangsa ini mau membentuk karakter yang baik jika para pemimpinnya malah korupsi.
Masyarakat juga harus optimis dan sadar bahwa korupsi bukan budaya tetapi penyakit negara yang harus dilawan dan diberantas karena sangat merusak nama Pancasila. Perilaku yang ditunjukkan oleh para koruptor jelas mencerminkan penghianatan dan pelecehan terhadap pancasila.
Oleh karena itu diperlukan peran aktif dari semua pihak baik pemangku jabatan, tokoh agama maupun tokoh masyarakat. Sampaikan secara secara terus menerus kepada masyarakat seputar nilai-nilai Pancasila. Berikan pemahaman bahwa korupsi adalah pernbuatan yang mekhinatti Pancasila serta bukanlah watak bangsa Indonesia yang luhur.
Pancasila mengandung nilai-nilai yang ideal, tapi teladannya yang masih dipertanyakan. satu nilai yang cuma surplus ungkapan tapi tanpa keteladanan sama halnya dengan omong kosong. Terutama dalam hal keteladanan ini adalah bagaimana cara kita melahirkan para penyelanggara negara yang betul-betul menjunjung cita-cita moral, cita-cita pemerintahan yang bersih. Dengan keteladan sehingga rakyat punya harapan. Jangan Pancasila itu hanya dijadikan cara negara mendisplinkan rakyatnya. rakyat juga berhak bahwa penyelangara ini juga bisa dipercaya dan bisa melayani. (*)
__
*Penulis:
Reja Fahlevi
Akademisi Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan
Posting Komentar