foto ilustrasi: industry.co.id |
BARU saja kita bersama mengetahui dari pemberitaan media lokal tentang lembaga antirasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang berada di Kalimantan Selatan.
Dalam rangka kunjungan untuk memastikan reklamasi pascatambang dilakukan pemegang izin usaha pertambangan (IUP), melalui tim Bidang Koordinasi Supervisi dan Pencegahan (Korsupgah) Wilayah VII KPK melakukan pengecekan ke beberapa daerah di Kalsel.
Akan tetapi, bisa saja dengan adanya kegiatan tersebut tidak menutup kemungkinan KPK telah mengantongi sejumlah nama untuk dimonitor kegiatannya.
Seperti yang kita ketahui bersama perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Provinsi Kalimantan Selatan yang aktif melakukan kegiatan pertambangan berjumlah ratusan, yang berdasarkan peraturan perundang-undangan mereka semua berkewajiban untuk melakukan reklamasi yang sebelumnya juga ada kewajiban untuk menyetorkan sejumlah dana sebagai jaminan reklamasi.
Di dalam Pasal 1 angka 20 UU No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mendifinisikan reklamasi adalah “kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan mperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.” aspek yang ingin dilindungi dan dijaga dalam rumusan pasal tersebut adalah tentang keberlangsungan lingkungan hidup.
Kemudian mengenai kewajiban reklamasi oleh perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dapat dijumpai pada beberapa ketentuan di dalam UU Minerba diantaranya pasal 39 ayat (2) dan Pasal 99. Sedangkan mengenai kewajiban mengenai penyediaan jaminan reklamasi diatur pada pasal 100. kemudian mengenai reklamasi dan jaminan reklamasi akan diatur secara khusus dengan peraturan pemerintah yakni Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2010.
Kewajiban penyetoran dana reklamasi dihitung berdasarkan jumlah luas area pertambangan dengan kisaran biaya perhektar antara 90 juta sampai 110 juta. Berdasarkan data September 2017 saja, jumlah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah menempatkan jaminan reklamasinya sebanyak 323 IUP, dengan nominal Rp 175.970.217.078 dan USD 1.270.118. Kemudian pada tahun 2018 dana tersebut mencapai Rp402 miliar dan US$2,2 juta.
Jumlah dana tersebut terus bergerak bisa bertambah dan berkurang mengingat kewajiban penyetoran berdasarkan luasan area pertambangan dan akan berkurang apabila pemegang IUP mencairkan dana reklamasi setelah selesai dilakukan nya kewajiban reklamasi. Semua dana tersebut disetorkan melalui bank pemerintah dalam bentuk deposito berjangka yang tentu akan ada bunga bank dari penempatan dana tersebut. Apabila tidak cukup kuat mekanisme control atas dana tersebut maka tidak menutup kemungkinan akan disalahkan gunakanya dana tersebut oleh pihak yang dapat mengakses pencairan dana tersebut.
Menurut mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, epicentrum korupsi setidaknya ada pada tiga hal yakni kekuasaan, sumber daya alam dan arus uang. Dalam pengelolaan dana jaminan reklamasi tersebut memuat semua aspek di atas. Sehingga tidak berlebihan kiranya penulis menganggap dalam kewajiban reklamasi menimbulkan bayangan potensi korupsi (the shadow of potential corruption)”.
Untuk menghindari terjadinya perbuatan korupsi atas dana jaminan reklamasi tersebut dan agar tercapainya maksud dan tujuan dari diwajibkan kegiatan reklamasi, maka fungsi kontrol dari pengawas internal pemerintahan seperti Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan BPKP maupun fungsi kontrol lembaga representasi rakyat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) perlu dioptimalkan.
Transparansi pemerintah sangat diperlukan terkait pengelolaan dana tersebut, di samping itu masyarakat juga turut berperan aktif dalam dalam mengawasinya, mengingat kegiatan reklamasi ditujukan untuk memulihkan lingkungan hidup masyarakat yang terkena dampak kegiatan pertambangan. apabila kita lengah tentang hal ini maka entah bagaimana kah nasib kita masyarakat banua atas kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan yang harusnya menjadikan masyarakat sejahtera malah menjadi malapetaka.
Penulis:
Muhammad Yusman, SH
Muhammad Yusman, SH
Penulis adalah anggota Komunitas Persaudaraan Borneo (KPB) dan Praktisi Hukum di bidang Pertambangan.
(Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis, di luar tanggung jawab redaksi BeritaBanjarmasin.com).
Posting Komentar