Salah satu kepala daerah mencopot drg Romi Syofpa Ismael sehingga gagal menjadi PNS. Bupati beralasan drg Romi tidak sehat karena disabilitas. "Dia menduduki peringkat terbaik ranking 1 untuk tes kompentensi," kata Direktur LBH Padang, Wendra Rona Putra yang menjadi kuasa drg Romi saat dihubungi detikcom, Senin (22/7/2019).
Ilustrasi: legaleraindonesia |
Sebelumnya Dr. Romi dinyartakan sehat untuk menjalani profesinya sebagai dokter gigi, dengan apa yang sedang ia alami tidak akan mengganggu aktivitasnya sebagai dokter gigi, lagipula dalam UU No.8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas mengamanatkan bagi pelaksana UU dalam hal ini pemerintah secara tegas terutama dalam pasal 53 ayat (1) “pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% penyangdang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja”, ayat (2) “Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja”.
Jika dibaca dan dipahami makna dari bunyi pasal tersebut jelas tindakan yang dilakukan Bupati Solok Selatan tidak menggambarkan apa yang diamanatkan dalam uu tersebut, dari pasal tersebut menyatakan secara tegas hak yang harus dipenuhi para pemerintah maupun perusahaan swasta, namun dalam implementasinya masih saja mengalami banyak kendala, salah satunya terjadi pada Dr. Romi, Partisipasi penyandang disabilitas dalam pembangunan masih alami kendala yaitu salah satunya stigma masyarakat dan pemerintah yang masih memandang penyandang disabilitas sebagai korban atau pihak yang patut dikasihani,
Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi hak-hak Penyandang Disabilitas pada tahun 2011 (Convention on the Right Of People With Declaration – CRPD) yang disahkan di PBB pada 2006, menandakannya pemenuhan hak penyandang disabilitas dipandang sebagai Hak Asasi Manusia, bukan lagi sekedar belas kasih ataupun objek yang perlu dikasihani oleh masyarakat, Dalam konteks tersebut disabilitas dipahami sebagai hambatan yang tercipta karena faktor lingkungan yang tidak mendukung baik dalam aspek sarana dan prasarana (aksesbilitas), maupun stigma masyarakat .
Dengan diratifikasi Konvensi tersebut pada tahun 2011, Indonesia harus memperbaharui hukum nasional dalam konteks ini UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat beserta peraturan pelaksananya, yang mana dapat dimaknai pembuat UU tentang penyandang cacat memandang penyandang disabilitas sebagai objek bukan subjek seutuhnya karena memiliki kekurangan, kelaianan fisik dan/atau mental yang membuatnya dipandang tidak dapat beraktivitas secara layak. pandangan charity based dalam UU penyandang cacat terlihat dari upaya-upaya pemerintah dalam rehabilitasi, pembinaan, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial dalam memberikan perlindungan hak penyandang disabilitas, pendirian panti-panti, sekolah luar biasa yang justru menjauhkan mereka dari interaksi dengan masyarakat umum.
CRPD merupakan seperangkat instrument hukum yang mengatur mengenai hak-hak penyandang disabilitas, merupakan perubahan paradigma gerakan disabilitas dari cara pandang penyandang disabilitas sebagai objek menjadi subjek yang memiliki hak .
Terhadap apa yang terjadi pada Dr. Romi, Bupati Solok Selatan nampaknya masih menganggap bahwasanya Dr. Romi adalah pihak sebagai objek bukan seutuhnya subjek karena memiliki kekurangan, jika alasan Bupati Solok menganulir kelolosan karena alasan Dr. Romi penyandang disabilitas.
Komite Nasional Disabilitas (KND)
Disamping itu Pendirian Komite Nasional Disabiitas sebagai amanat dari UU Disabilitas tak kunjung terlaksana, padahal dalam pasal 149 UU Disabilitas menyebutkan bahwa KND (Komite Nasional Disabilitas) harus sudah dibentuk paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan, sedangkan Undang-Undang ini sendiri diundangkan pada tanggal 15 April 2016, dan sekarang sudah memasuki bulan Agusuts 2019 itu menandakan bahwasnya sudah melewati batas yang diamanatkan oleh undang-undang disabilitas, ini merupakan tanda ketidakbeperhikan pemerintah untuk serius melindungi penyandang disabilitas.
Padahal KND fungsinya amat diperlukan terutama apabila terjadi kasus serupa seperti Dr. Romi. karna “setiap orang bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”, jelas pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Persyaratan-persyaratan mendaftar kerja lainnya entah di pemerintahan maupun di perusahaan swasta acap kali mengindahkan amanat undang-undang disabilitas sebagaimana tercantum persyaratan yang mengharuskan pendaftar sehat secara jasmani maupun rohani, yang mana seharusnya sebagai impelentasi amanat undang-undang perlu adanya pengecualian bagi penyandang disabilitas untuk ikut serta dalam proses seleksi penerimaan karyawan demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan sebagaimana yang terkandung dalam pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) UU Disabilitas.
Pada akhirnya kesadaran semua elemen masyarakat memerhatikan para penyandang disabilitas perlu di tingkatkan dan mendesak pemerintah dalam hal kewajiban yang belum terpenuhi susai amanat Undang-Undang ini dan sosialisasi Undang-Undang Disabilitas terhadap masyrakat umum perlu di gencarkan lagi terutama perusahaan-perusahaan besar maupun pemerintah yang belum memahami betul makna dari amanat Undang-Undang Disabilitas.
Penulis: Susanto
Mahasiswa Fakultas Hukum ULM
*Isi di luar tanggung jawab redaksi, dan menjadi tanggung jawab penulis.
Posting Komentar