"KPU provinsi, kabupaten/kota akan menyelenggarakan
pemilihan gubernur, bupati, dan walikota tahun 2020 sebanyak 270 daerah, dengan
rincian sembilan pemlihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan
walikota," kata Ketua KPU Arief Budiman dalam rapat di ruang Komisi II,
Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/7/2019) dikutip dari Detik.com
Dalam pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan “ Pemilihan
umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap
lima tahun sekali,” selanjutnya pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan “Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”,
sehingga dapat maknai bahwa pendapat rakyat dalam pemilihan umum merupakan
bagian dari Hak Asasi Manusia yang harus dihormati dan dilingdungi, juga
termasuk didalamnya jaminan penghormatan dan perlindungan bahwa suara rakyat
tidak dicurangi, dan jika terdapat pengaduan/sengketa yang berkaitan dengan
pemilu, maka pengaduan/sengketa harus diproses secara adil, dengan kata lain
penyelesaian sengketa pemilu merupakan bagian dari penegakkan Hak Asasi
Manusia.
Disamping itu Kewenangan Mahkamah Kosntitusi sebagiamana yang
disebutkan pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yaitu ; Menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara 1945, Memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik,
dan Memutus peselisihan tentang hasil pemilihan umum. Namun dalam pasal 22E UUD
1945 menyebutkan bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD,
Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD, perlu digarisbawahi bahwa di pasal 22E tersebut
tidak mencantumkan Pemilihan Kepala Daerah, namun dalam perkembangannya MK lah
yang diamanatkan untuk memutus sengketa Pilkada,
17 april 2019 menjadi sejarah tersendiri bagi bangsa
Indonesia karna telah melaksanakan pemilihan umum eksekutif dan legislatif
secara serentak diwilayah Indonesia, tak hanya sampai disitu proses pemilu
secara serentak juga akan dilaksanakan di ranah daerah yaitu pemilihan kepala
daerah atau Pilkada, yang sudah tentu di pemilu serentak yang akan datang khususnya
pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap pemilu 17 April lalu, dan menyelesaikan
PR di Pilkada serentak mendatang
PR Pemerintah
Dalam
menghadapi Pilkada serentak mendatang tepatnya pada tahun 2020, PR bagi
pemerintahan selain memperbaiki dan mengevaluasi atas apa yang terjadi pada
Pemilu serentak 17 april lalu, juga dituntut untuk membentuk electoral
justice system. Yang mana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan
amanat melalui putusan MK, salah satunya Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 dalam
putusan tersebut mengamanatkan agar negara segera membentuk Badan Peradilan
Khusus Pemilu, Putusan tahun 2013 tersebut kemudian baru termanifestasi pada
tahun 2016 tepatnya saat diundangkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang
perubahan kedua atas UU No.1 Tahun 2015, Pasal 157 ayat (1) yang menyebutkan
bahwa “Perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan
peradilan khusus”, untuk selanjutnya secara eksplisit dikatakan dalam pasal 157
ayat (2) bahwa “ Badan Peradilan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan Serentak Nasional”
Tujuan pembentukan Badan Peradilan Khusus itu sediri
merupakan salah satu tujuan untuk tercapainya kepastian hukum, bagi pihak MK,
maupun pihak terkait. Di dalam UU itu sendiri tidak dijelaskan mengenai bagaimana
bentuk badan peradilan khusus, apakah merupakan lembaga semi peradilan atau
menempatkan Badan Peradila Khusus tersebut sebagai salah satu Pengadilan Khusus
di lingkungan MA.
Disisi lain badan yang juga mempunyai kewenangan dalam
memutus sebagaiamana Dalam UU No. 1 Tahun 2015 yang telah diubah dengan UU No.8
Tahun 2015 dan perubahan kedua pada UU No.10 Tahun 2016, telah membagi dan
membedakan kasus hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala
Daerah.
Jika Penyelesaian Pemilihan Tetap Dilakukan MK
Pertama, terjadinya ketidakpastian hukum karena tidak
dicantumkanya tanggal pasti terbentuknya Badan Peradilan Khusus disamping kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa atas hasil pemilihan kepala
daerah bersifat sementara, yaitu sampai terbentuknya Badan Peradilan Khusus,
kedua, jika diasumsikan 80 persen dari jumlah seluruh
sengketa Pilkada berujung pada berpekara di MK, maka dalam Pilkada secara
serentak yang dilakukan tahun 2020 tentu dimungkinkan akan banyaknya perkara
yang masuk ke MK, yang tentu akan menjadi pekerjaan berat bagi para Hakim MK
mengingat adanya pembatasan tenggang waktu pemeriksaan di MK dalam menangani
perkara Pilkada,
Maka dari itu, tepat rasanya jika di Pilkada tahun 2020 Badan
Peradilan Khusus sudah seyogyanya harus dibentuk, dan mengenai bentuk Badan
Peradilan Khusus sendiri penulis berpendapat bahwa akan lebih efisien jika
Badan Peradilan Khusus tersebut berada di Lingkungan Peradilan TUN sebagai
Pengadilan Khusus dibandingkan dengan pembentukan yang bersifat semi peradilan.
Karena hemat penulis bahwa Lembaga Peradilan yang telah ada mapan sehingga
tidak akan menimbulkan permasalahan maupun kerumitan baru dan juga hakim-hakim
yang telah memiliki keahlian dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa. dan juga karena karakteristik Penetapan Hasil Pemilihan Kepada Daerah
adalah Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimkasud dalam pasal 1 angka 9 UU
Peradilan Tata Usaha Negara, dan juga mengingat jumlah Pengadilan TUN saat ini
ada di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. (*)
Penulis: Susanto
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lambung Mangkurat (ULM)
Posting Komentar