Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi kembali meminta masyarakat untuk menerima kebijakan sistem zonasi dalam PPDB 2019. Menurutnya masyarakat mulai menyadari bahwa namanya era sekolah favorit itu sudah selesai, seperti dikutip dari Kompas.
Di balik tujuan besar untuk pemerataan pendidikan yang di cita-citakan oleh pemerintahan Indonesia sebagaiamana yang di realisasikan pada tahun 2017 dan disempurnakan pada tahun 2018, tepatnya pada saat Permendikbud Nomor 51 tahun 2018 ini disahkan dan diundangkan pada tanggal 31 Desember 2018, justru menimbulkan pro, kontra dan masalah baru bagi masyarakat, terbukti Permendikbud tersebut mengalami perubahan pada Juni 2019 dengan diundangkannya Permendikbud Nomor 20 Tahun 2019 tentang Perubahan Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB pada TK, SD, SMP, SMA dan SMK.
Adapun perubahannya yaitu; perubahan kuota zonasi yang semula 90% menjadi 80% yang mana 10% sisanya dialokasikan untuk jalur prestasi, dan penghapusan sanksi berupa pengurangan bantuan pemerintah Pusat atau dana operasional sekolah kepada sekolah yang melakukan pelanggaran.
Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim menilai ada empat masalah sistem zonasi pada pelaksanaan PPDB 2018. Masalah itu berupa munculnya jalur SKTM di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pada pasal 16 ayat 1 sampai 6 Pemendikbud Nomor 14 Tahun 2018 [tentang PPDB] tidak ada istilah Jalur SKTM
Masalah kedua berkaitan dengan perpindahan tempat tinggal tiba-tiba. FSGI menemukan kasus, salah seorang siswa asal Cibinong, Bogor, menumpang nama di Kartu Keluarga saudaranya di Kramat Jati, Jakarta Timur, demi bisa bersekolah di salah satu sekolah di daerah itu, alih-alih di tempat asalnya. Dengan kata lain, sistem zonasi bisa dikelabui.
Masalah ketiga yang masih berkaitan dengan kewajiban menerima 90 persen calon siswa yang tinggal di lokasi dekat sekolah. Di lapangan, hal ini membuat sekolah yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga biasanya ada di pusat kota sepi peminat. Misalnya yang terjadi di 12 SMP di Solo, Jawa Tengah, atau di 53 SMP di Jember, Jawa Timur. Masalah terakhir masih berkaitan erat dengan poin tiga. Ketika di satu sisi ada sekolah yang kekurangan siswa, di sisi lain ada sekolah yang kelebihan peminat karena ada berada di zona padat, misalnya SMA Negeri 1 Jepon yang zonanya ada di tiga kecamatan sekaligus: Jepon, Jiken, dan Bogorejo.
Stigma Masyarakat
penulis berpendapat bahwa stigma yang timbul di masyarakat tentang “sekolah favorit” itu muncul akibat dari fasilitas dan kualitas di suatu sekolah itu memadai sehingga menimbulkan kepercayaan dari orang tua itu sendiri, dan juga dapat menjadi tolak ukur bagi orang tua bahwa sekolah itu dikatakan favorit dilihat dari prestasi anak-anak yang ada di sekolah tersebut. Padahal, jika dilihat dibalik itu semua, peran guru maupun manajemen sekolah yang baik-lah yang merupakan faktor utama sekolah itu menuai prestasi, disamping fasilitas yang memang memadai. Sebagai contoh, sekolah A memberlakukan berbagai macam ekstrakulikuler sedangkan sekolah B tidak memberlakukannya, jelas yang berpeluang untuk berprestasi ialah sekolah a dan dampak dari prestasi tersebut akan menumbuhkan stigma baik masyarakat terhadap sekolah tersebut, dan muncullah istilah “sekolah favorit” ditengah masyarakat.
Jadi hemat penulis, jika disandingkan dengan kebijakan sistem zonasi dengan stigma masyarakat, tidak tepat rasanya jika cara untuk menghilangkan stigma tentang “sekolah favorit” hanya dengan pemberlakuan sistem zonasi itu akan menghilang era “sekolah Favorit”, sudah barang tentu harus kebijakan sistem zonasi juga disertai dengan pemerataan fasilitas sekolah, manajemen sekolah, media bahan ajar yang memadai, dan pelaksanaan roling guru guna menunjang pemerataan pendidikan dan penunjang penerapan sistem zonasi.
Lagipula semangat untuk menghapus era sekolah favorit juga terkendala dengan label Peringkat pada Perguruan Tinggi, tidak dapat dipungkiri istilah “sekolah favorit” juga merupakan sebagai akibat dari semakin ketatnya persaingan untuk memasuki Perguruan Tinggi, ditambah adanya wacana Rektor Asing guna mendongkrak peringkat Perguruan Tinggi Indonesia agar mampu bersaing dengan Perguruan Tinggi lainnya, tentu itu juga berimbas pada penerimaan mahasiswa baru nantinya. sudah menjadi rahasia umum dikalangan siswa bahwasanya peluang untuk diterima di PTN ternama di Indonesia menjadi besar apabila bersekolah disekolah yang mempunyai banyak prestasi, standarisasi bahan ajar yang tinggi atau dengan kata lain yaitu “sekolah favorit”.
Kewenangan pusat atau daerah
di sisi lain penentuan tentang kuota jumlah minimal zonasi oleh Permendikbud menciderai UU Sistem Pendidikan Nasional jika PPDB merupakan bagian dari manajemen sekolah, yang mana dalam pasal 51 ayat (1) menyebutkan “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. yang mana hemat penulis dari pasal tersebut punya makna bahwasanya pihak sekolah mempunyai otonomi tersendiri dalam memanajemen sekolahnya termasuk penentuan kouta zonasi, dan jika PPDB itu termasuk dalam manajemen sekolah maka tentu pemerintah menciderai UU Sisdiknas melalu Permendikbud tersebut, maksud penulis pemerintah hanya kasih guideline dalam penerimaan murid baru perlu memerhatikan aspek zonasi, tetapi besaran zonasinya biarlah menjadi kewenangan sekolah, yang tentu disesuaikan dengan kondisi dan situasi sekolah tersebut berada.
Penulis: Susanto
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM)
Posting Komentar