BERITABANJARMASIN.COM - Pilkada 2020 sebentar lagi akan dimulai di Kalsel. Lalu bagaimana dengan anak muda, mengingat yang muncul ke permukaan adalah para wajah lama.
Pengamat politik dari FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Pathurrahman Kurnain menguraikan, tokoh muda yang berniat maju pada Pilkada di Kalsel harus menggunakan cara yang tidak konvensional.
Memang sampai saat ini, ujarnya, para tokoh yang digadang-gadang maju masih didominasi nama-nama senior. Para anak muda, yang melakukan polarisasidipandang sebagai sebuah warna atau sebuah titik perdana dimana karir politik bermula.Bisa pula dijadikan ajang pembuktikan sejauh mana kaderisasi partai politik berhasil guna. "Saya sendiri tidak ingin terjebak pada polarisasi ini, yang lebih saya perhatikan adalah sejauh mana politisi muda ini mampu mempersiapkan diri," ujarnya.
Kesiapan, tambahnya, tidak diukur dari kuatnya dana dan logistik yang dimiliki, bukan pula dari popularitas yang melambung tinggi atau banyaknya jaringan pemilih yang tersimpul rapi.
"Walaupun kita semua mafhum, elemen yang disebutkan di atas tadi merupakan faktor-faktor kunci demi melenggang ke gedung dewan dan meraih kursi," ujarnya kepada BeritaBanjarmasin.com.
Menurutnya, jika politisi muda hanya mengandalkan faktor-faktor konvensional tadi, mereka akan mengalami kesulitan ketika harus bersaing dengan politisi kawakan (politisi ‘incumbent’). Sebab faktor kunci tersebut umumnya telah dimiliki oleh pendahulu mereka.
Bahkan politisi senior lebih hafal medan, mempunyai jam terbang serta pengalaman yang lebih mumpuni dibanding politisi muda. Ditambah lagi, tidak semua politisi muda memiliki kekuatan dan kesempatan yang sama dalam menggunakan faktor-faktor kunci tersebut. "Menurut hemat saya, Setidaknya terdapat catur (empat) matra yang harus dimiliki oleh semua politisi muda agar mereka memiliki nilai jual tinggi dalam berkompetisi pada pilkada yang akan dihelat beberapa saat lagi," hatur Dosen FISIP ULM tersebut.
Pertama, politisi muda harus memiliki keberanian untuk tampil sebagai penantang politisi senior. Menjadi penantang memang tidak mudah, apalagi yang dihadapi adalah politisi kawakan yang memiliki berbagai keunggulannya.
Seringkali politisi muda lebih suka menghindari berkonfrontasi dan enggan melakukan kritik terhadap politisi senior. Padahal sepanjang argumentasinya punya landasan yang kuat dan logis, berkonfrontasi secara terbuka dengan politisi senior juga akan memberikan credit point dan keuntungan tersendiri bagi politisi muda.
Contohnya seperti Tsamara Amany (Sammy), sosoknya gencar diperbincangkan netizen karena keberaniannya mengkritik sikap dari pejabat pemerintah. Walaupun usianya masih 21 tahun, Sammy tergolong punya nyali untuk menantang Fahri Hamzah untuk berdebat.
Bahkan dirinya telah merampungkan lima video singkat untuk ‘menyengat’ Fahri Hamzah dengan tajuk ‘ lima sesat fikir Fahri Hamzah’. Sammy juga tidak grogi saat melakukan debat terbuka melawan Fahri Hamzah dan Fadli Zon di acara TV Indonesia Lawyer Club.
Inilah salah satu bukti mengapa kehadiran politisi muda itu harus tetap diperhitungkan. Sering mengkritik sikap dan pejabat pemerintah. membuat mengambil risiko. dan mengambil resiko politisi senior bukan hanya berani tampil di di depan saja, tetapi berani mengambil risiko.
Kedua, Politisi muda harus mampu menawarkan ide dan gagasan segar untuk memecahkan berbagai problematika bangsa, bahkan berpikir anti-maintsream dari sudut pandang yang special. Untuk perihal satu ini, kita bisa belajar dari penulis novel terkenal, Darwis Tere Liye.
Penulis Novel Negeri Para Bedebah ini memberikan contoh berpikir dari sudut pandang spesial, misalnya saat orang kebanyakan memandang hitam adalah warna, hitam adalah gelap, duka cita, Tere Liye bercerita “Hitam selalu datang terlambat, kemana-mana datang terlambat, ke sekolah terlambat, ke pasar terlambat.
Maka pada suatu hari teman-temannya bosan sekali dengan keterlambatan hitam, maka pada hari itu mejikuhibiniu pergi tanpa warna hitam, sejak hari itulah pelangi tidak punya warna hitam.
"Walaupun itu pada prinsipnya hanya karangan belaka saja, tapi kita tentu termangu dan ikut penasaran untuk memikirkan asal muasal sejarah mengapa pelangi itu tidak memiliki warna hitam," tutur mantan Ketua BEM FISIP ULM itu.
Itulah sudut pandang yang berbeda yang membuat orang terhenyak dan menganggap bahwa diri kita adalah spesial.
Ketiga, Politisi muda harus paham sejarah, memiliki wawasan serta pengetahuan luas di bidang politik. Generasi muda milenial diklaim sebagai generasi terdidik dan intelek. Melalui berbagai perangkat teknologi dan kemudahan akses informasi, mempelajari sejarah serta memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan tentu akan terasa lebih mudah.
Ditambahkannya, tanpa wawasan luas dan memahami sejarah perjalanan bangsa, rasanya mustahil Soekarno begitu dikagumi sejak usia muda. Sehingga wajar jika Soekarno pernah berpesan bahwa “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”.
"Jika mengabaikan sejarah, kita tidak bisa belajar arti kesalahan maupun kunci keberhasilan para pendahulu kita. Sejarah mengajarkan pengalaman dan kebijaksanaan agar kita bisa menyusun kehidupan masa depan yang lebih baik," jelas dia.
Keempat, politisi muda harus cerdas dan kreatif dalam berkampanye di sosial media. Meskipun sosmed memiliki banyak keunggulan sebagai instrumen marketing politik, namun jika gagal mengelolanya dengan baik justru dapat menuai banyak cibiran dan antipati dari warga-net.
Lalu sebisa mungkin menghindari terlalu banyak mengunggah foto seremonial maupun kutipan-kutipan pemimpin politik secara berlebihan jika anda tidak ingin dicap melakukan over-dosis pencitraan.
Netizen lebih menginginkan postingan visi, misi, garis idelogi yang dipegang serta gagasan realistis yang dapat anda wujudkan dalam aksi nyata. Selain itu, kepedulian dan kejelian analisis anda dalam merespon berbagai fenomena politik yang terjadi juga sangat menentukan apakah anda layak dianggap sebagai politisi potensial.
Dikatakannya, bagi politisi muda menjadi pemimpin seharusnya bukan sekadar dipandang sebagai alat pemuas ego atau pencapaian ambisi. Tetapi lebih jauh dari itu, merupakan wujud nyata pengabdian kepada ibu pertiwi.
Memang terdengar klise dan utopis, namun tanpa penanaman idealisme seperti itu, kehadiran politisi muda dalam pemilu tak ubahnya seperti ranting cemara lapuk, yang mudah patah ditiup angin, sebelum akhirnya jatuh ke tanah dan tiada berguna. Menyandang predikat sebagai politisi muda memang tidak mudah. Mereka diharapkan dapat menjadi salah satu solusi, bukan menambah beban permasalahan negeri. Sebab, menjadi politisi muda bukanlah ‘pekerjaan’ main-main. (maya/sip)
foto: dok.instagram
Posting Komentar