CUACA panas politik ke-daerah-an mulai tampak kepermukaan, kendati lonceng pertanda dimulainya perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) belum dibunyikan. Hal tersebut dapat dicermati dengan bermunc koulannya sejumlah survei bursa calon melalui polling yang tersebar di media sosial dan munculnya sejumlah tokoh-tokoh banua secara terbuka mendeklarasikan diri maju melalui jalur perseorangan (independen) maupun menyambangi partai politik untuk mendapatkan perahu dukungan digelaran pilkada, baik untuk pemilihan Gubernur, Bupati maupun Walikota di bumi lambung mangkurat.
Terkait calon perseorangan, rentetan putusan mahkamah konstitusi No. 5/PUU-V/2007, No. 60/PUU-XIII/2015 dan No. 54/PUU-XIV/2016 menjadi pijakan dasar konstitusionalitas calon perseorangan sebagai penyeimbang partai politik dalam pagelaran demokrasi lokal. Dalam perhelatan pilkada serentak 2020 yang dilaksanakannya pemungutan suara pada 23 september 2020 berdasarkan PKPU 15 tahun 2019, tercatat 270 daerah di Indonesia melaksanakan gelaran pilkada yang terdiri dari 9 pemilihan Gubernur, 224 pemilihan Bupati dan 37 pemilihan Walikota, termasuk pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota di daerah Kalimantan selatan.
Dalam alam demokrasi, gelaran demokrasi lokal yang dimanifestasi dalam pilkada merupakan conditio sine qua non dari pengejewantahan asas otonomi daerah sebagai dasar kemandirian daerah yang dimaknai tidak hanya mandiri dalam mengurus dan membangun daerah, tetapi juga dalam menentukan pemimpin daerah. Sehingga pilkada merupakan bentuk kemandirian rakyat daerah sebagai pemegang daulat untuk melakukan evaluasi atas kepemimpinan pemimpin mereka hari ini dan untuk menentukan siapa yang layak untuk memimpin mereka dalam lima tahun ke depan.
Bila ditarik kebelakang, konstitusi memberikan pilihan untuk gelaran pilkada apakah dilaksanakan melalui DPRD ataukah langsung dipilih oleh rakyat daerah. Hal inilah yang sempat menimbulkan polemik di tahun 2014 yang melahirkan perppu agar pilkada dilaksanakan secara langsung oleh rakyat daerah. Tentu saja pilihan politik hukum pilkada langsung harus dimaknai sebagai bentuk koreksi terhadap sistem pemilihan melalui DPRD dan pendidikan politik rakyat daerah agar dapat melahirkan demokrasi lokal yang berkualitas guna mengarah pada demokrasi ideal serta memberikan legitimasi kuat terhadap calon yang terpilih langsung dari rakyat daerah.
Adanya usulan Mendagri untuk mengembalikan sistem pemilihan melalui DPRD dengan argumentasi biaya politik yang tinggi dalam pemilihan langsung tentu tidak tepat. Tingginya biaya politik dalam pemilihan langsung paling tidak dapat di lacak dalam 2 hal. Pertama, fenomena mahar politik yang sudah menjadi pengetahuan umum dalam sistem kepartaian di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari penentuan calon yang merupakan kewenangan dari DPP partai politik.
Kedua, soal politik uang, selama angka kemiskinan masih tinggi dan kesejahteraan rakyat daerah belum terwujud maka praktik politik uang dalam setiap hajatan pilkada akan terus muncul. Maka penurunan angka kemiskinan, perwujudan kesejahteraan rakyat daerah serta perbaikan sistem kepartaian semestinya yang harus di dorong oleh pemerintah sebelum mengetengahkan soal pemilihan melalui DPRD yang dapat terjebak dalam kemunduran demokrasi. Mengingat soal tingginya biaya politik tidak ditentukan oleh sistem pemilihan melalui DPRD maupun sistem pemilihan langsung.
Antara Ada dan Tiada Pengawas Pilkada
Jika kontestasi pilkada dianalogikan sebagai sebuah pertandingan sepakbola, maka dibutuhkan wasit atau hakim garis sebagai pengawas dilapangan guna memastikan pertandingan sepakbola tersebut berjalan dengan baik dan adil serta memastikan tidak ada kecurangan oleh masing-masing tim yang sedang bertanding.
Sama halnya dengan pilkada, agar tidak hanya menjadi ritual 5 tahunan belaka, maka dibutuhkan pengawas guna memastikan pertandingan perebutan kursi pemimpin daerah tersebut dapat berjalan secara free and fair serta tanpa ada indikasi kecurangan dan masalah yang masih menjadi primadona seperti politik uang, mencuri start kampanye, netralitas ASN dan netralitas penyelenggara pilkada serta konflik antar pendukung.
Dalam pelaksaan pilkada di Indoensia tugas pengawas tersebut diamanatkan kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Dibandingkan dengan pelaksaan pemilu yang payung hukum pengawas diatur dalam UU 7 tahun 2017 tentang pemilu, maka dalam pilkada payung hukum pengawas diatur dalam UU 1 tahun 2015, UU 8 tahun 2015 dan UU 10 tahun 2016 tentang pemilihan.
Jika dicermati keberadaan pengawas dalam UU Pemilu dan UU Pemilihan memiliki perbedaan garis demarkasi yang cukup subtansial. Tidak hanya soal kewenangan pengawas dan soal jumlah keanggotaan pengawas, akan tetapi juga soal eksistensi pengawas di tingkat Kabupaten dan Kota. Jika di UU Pemilu disebut dengan Bawaslu, maka dalam UU Pemilihan disebut Panwas. Perbedaan penyebutan nomenklator tersebut pada prinsipnya memiliki implikasi hukum yang berbeda.
Digunakannya nomenklatur “badan” dalam UU Pemilu melahirkan eksistensi yang bersifat permanen, sedangkan penggunaan nomenklator “panitia” dalam UU Pemilihan melahirkan pengawas yang bersifat ad hoc yang di bentuk sebelum dan dibubarkan setelah hajatan pilkada. Timbul problem atas itu adalah siapa pengawas pilkada, apakah Bawaslu atau Panwas Kabupaten dan Kota?
Soal inilah yang menjadi dilematis bagi pengawas pilkada. Di satu sisi UU Pemilu melahirkan pengawas yang permanen yaitu Bawaslu Kabupaten dan Kota yang hari ini telah terbentuk sebelum pemilu serentak 2019 kemarin, di sisi lain UU Pemilihan melahirkan pengawas yang bersifat ad hoc yaitu Panwas Kabupaten dan Kota yang hari ini belum terbentuk. Ketidakpastian hukum keberadaan pengawas ini berakibat pada soal pendanaan anggaran pengawas pilkada dalam penyusunan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD).
Dalam UU Pemilihan, secara yuridis-normatif Panwas Kabupaten dan Kota yang mempunyai legalitas untuk melakukan pembahasan dan penandatanganan NPHD. Faktanya berdasarkan Permendagri 54 tahun 2019 kewenangan tersebut diberikan kepada Bawaslu Kabupaten dan Kota. Jika pun argumentasi yang muncul adalah melakukan diskresi untuk menghindari stagnasi pemerintahan. Secara teoritis hal tersebut dapat diperdebatkan, mengingat dalam Pasal 22 ayat (2) UU 30 tahun 2014 diskresi bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum (rechtvacum) dan yang dimaksud dengan stagnasi pemerintahan dalam penjelasan pasal tersebut contohnya adalah keadaan bencana alam atau gejolak politik serta pasal 24 huruf b mensyaratkan diskresi tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berkenaan dengan hal tersebut UU Pemilihan secara tegas mengatur yang menjadi pengawas tingkat Kabupaten dan Kota adalah Panwas, sehingga tidak ada kekosongan hukum (rechtvacum) soal pengawas dan syarat lahirnya diskresi dalam persoalan NPHD tersebut tidak terpenuhi karena jelas bertentangan dengan UU Pemilihan dengan mereduksi keberadaan Panwas. Oleh karena itu Permendagri 54 tahun 2019 sangat rentan apabila dilakukan uji materiil melalui Judicial review di Mahkamah Agung.
Lebih dari itu, semangat pengawasan yang dilahirkan UU Pemilu tidak berbanding lurus dengan semangat pengawasan dalam UU Pilkada. Dalam UU Pemilu pengawas Kabupaten dan Kota diberikan 2 mahkota yaitu kewenangan untuk memutus pelanggaran administrasi dan kewenangan memutus sengketa proses, sedangkan dalam UU pemilihan pengawas Kabupaten dan Kota hanya diberikan 1 mahkota yaitu kewenangan memutus sengketa proses dan kewenangan pelanggaran administrasi hanya bersifat rekomendasi. Dalam pada itu, jumlah keanggotaan pengawas Kabupaten dan Kota berdasarkan UU Pemilu 3-5 anggota sedangkan dalam UU Pemilihan jumlah anggota pengawas 3 orang.
Apabila dicermati, muara dari persoalan pengawas pilkada tingkat Kabupaten dan Kota ini tidak terlepas dari 2 hal. Pertama putusan Makhamah Konstitusi no 072-073/PUU-II/2004 dan no 97/PUU-XI/2013 yang inkonsistensi terkait pemilihan kepala daerah. Dalam putusan 2004 Mahkamah Konstitusi menyatakan pemilihan kepala daerah termasuk dalam rezim pemilu sehingga lahirlah istilah pemilukada. Dalam putusan 2013 Mahkamah Konstitusi menyatakan pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam rezim pemilu sehingga lahirlah istilah pilkada. Munculnya rezim pemilu dan rezim pilkada ini melahirkan UU Pemilu dan UU Pemilihan yang mengatur kedudukan pengawas Kabupaten dan Kota secara berbeda dalam 2 UU.
Kedua, muara persoalan pengawas pilkada juga tidak terlepas dari UU Pemilu itu sendiri. Di mana tidak adanya ketentuan peralihan dalam UU Pemilu yang mengatur secara mutatis mutandis Bawaslu Kabupaten dan Kota dalam UU Pemilu agar berlaku juga dalam ketentuan UU Pilkada, sehingga meniadakan Panwas Kabupaten dan Kota. Semestinya antisipasi tersebut dilakukan pada saat pembentukkan UU Pemilu, agar persoalaan legalitas pengawas pilkada dalam tingkat Kabupaten dan Kota tidak menjadi permasalahan yang muncul dalam gelaran pilkada.
Oleh karena itu untuk mempertahankan eksistensi pengawas pilkada tidak cukup hanya dengan melakukan uji materiil melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi yang hari ini sedang dimohonkan oleh jajaran Bawaslu terkait nomenklator pengawas dan jumlah keanggotaan pengawas pilkada, mengingat Mahkamah Konstitusi hanya sebagai negative legislator. Dengan mengetengahkan adagium hukum, bahwa hukum itu selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat menjadi sandaran guna mendorong DPR dan Presiden untuk melakukan perubahan terhadap UU Pilkada yang mengarah pada penguatan kewenangan pengawas juga perlu dilakukan sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan pemilihan. Jika dorongan terhadap DPR dan Presiden tersebut tidak menghasilkan perubahan, maka Bawaslu perlu menumbuhkan kesadaran dan keterlibatan akan pentingnya peran aktif rakyat daerah dalam mengawasi dan mengawal pelaksanaan pilkada menjadi syarat tanpa kecuali guna mewujudkan pilkada yang berkualitas dan subtansial.
Penulis:
M. Rezky Habibi R
Mahasiswa Magister Hukum, Universitas Lambung Mangkurat
Posting Komentar