Akhir abad ke 18 dan awal ke 19 terjadi revolusi industri di
Eropa dengan berkembangnya teknologi mesin uap, pabrik, kereta api dan kapal
api yang digerakkan dengan mesin uap mempergunakan bahan baku batu bara. Bahan
tambang batu hitam ini nenjadi sangat mahal di Eropah sehingga mendapat julukan
emas hitam.
Dalam wilayah kesultanan Banjar ternyata terdapat tambang
batu bara, khususnya di daerah Riam Kanan yang mengandung lapisan tambang
tersebut. Padahal tanah tersebut merupakan tanah pinjaman Belanda dari Kerajaan
Banjar sejak 1787.
Adanya tambang batu bara di Kalimantan ini sangat
menyenangkan Gubernur Jenderal JJ Ruchussen yang mendorong dia sendiri datang
ke Banjarmasin guna menyaksikan secara langsung adanya tambang batu bara
tersebut.
Perhatiannya sangat luar biasa terhadap tambang batu bara di
daerah Riam Kanan ini karena tambang tersebut berada pada lapisan tanah yang
tidak dalam, mudah digali dan justru yang pertama di Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda menganggap adanya tambang batu
bara di Kalimantan ini sebagai peluang kekayaan yang paling serius, mengingat
harganya sangat mahal di Eropah.
Dengan cara yang tidak etis, karena memang demikian sifat
kolonialis dan imperialis maka Belanda mendapatkan konsesi pertambangan itu
pada 1846. Tidak lama kemudian berdiri perusahaan Oranye Nassau yang diresmikan
pembukaannya pada 21 September 1849. Perusahaan diresmikan sendiri oleh
Gubernur Jenderal JJ Ruchussen yang sengaja datang dari Batavia (Jakarta).
Dalam proses jalannya usaha pertambangan batu bara tersebut
Gubernur Jenderal memberikan instruksi kepada Residen PHAB Van Hengst Residen
Afdeeling Borneo (Kalimantan) Selatan dan Timur di Banjarmasin supaya
memelihara hubungan yang baik dengan Sultan Banjar agar pertambangan batu bara
yang penting tersebut mendapat perlindungan
Sementara itu Gubernur Jenderal mengetahui adanya
gerakan-gerakan rakyat daerah Banjar yang anti terhadap Pemerintah Belanda.
Meletusnya Perang Banjar
Dalam kurun waktu hampir sepuluh tahun terjadi beberapa
pergantian Residen Borneo Selatan dan Timur dan pada 1859 dijabat oleh Residen
EF Graaf van Benthem Tecklenburg Rheda. Tambang batu bara Oranye Nassau yang
telah berproduksi dan menguntungkan bagi Pemerintah Belanda tersebut mendapat
perlindungan istimewa.
Bahkan di situ dibangun benteng pertahanan oleh Belanda
dengan menempatkan bala tentara lengkap. Mereka dipersenjatai meriam dan
senapan. Jansen yang ditunjuk selaku Administrator Oranye Nassau tidak saja
bertindak sebagai pimpinan perusahaan tambang itu, tetapi merangkap sebagai komandan
setempat yang juga dilengkapi dengan persenjataan.
Gerakan perlawanan rakyat telah meluas di beberapa daerah
dan gerakan tersebut telah diketahui oleh Residen berdasarkan laporan Jansen
yang sama dengan laporan Komandan Militer Letnan Beckman.
Terjadinya perkawinan politik antara putra Pangeran Antasari
Muhammad Said dengan Suranti puteri Datuk Aling menambah kekuatan gerakan
Pangeran Antasari dalam melawan Belanda. Datuk Aling yang dikenal sebagai
pemimpin gerakan Muning berpengaruh besar di Hulu Sungai.
Penyusunan kekuatan rakyat tampak sungguh-sungguh sejak awal
April 1859. Para pemimpin gerakan telah terkonsolidasi di Martapura, Tanah
Laut, Margasari, Tambarangan, Muning, Riam Kanan, dll.
Belanda telah mendapat laporan tentang jumlah pemberontak pribumi
itu mencapai sebanyak 6 ribu orang. Itulah sebabnya Belanda memperkuat posisi
pertahanannya di Pengaron. Sejak itu Residen sudah tidak percaya lagi terhadap
Pangeran Hidayatullah sebagai Mangkubumi, yang ternyata gerakan rakyat
tersebut, justru didalangi Pangeran Hidayatullah dengan memberikan petunjuk dan
bantuan senjata yang diambil dan perlengkapan Kesultanan Banjar bersama
Pangeran Antasari.
Pada 28 April 1859 meletus pertempuran dahsyat yang dipimpin
oleh Pangeran Antasari dengan mengerahkan 300 orang anak buahnya bersama
Pembekal Ali Akbar, Mantri Taming Yuda, Penakawan Sultan Kuning, dan
lain-lain
Sekitar 170 orang dan prajurit dari penghuni pribumi benteng
itu melarikan diri saat pertempuran berlangsung dan berpihak kepada rakyat
pejuang.
Pihak Belanda memang berupaya mempertahankan benteng
tersebut guna melindungi tambang batu bara dan pada tanggal 28 April tersebut
tercatat sebagai bermulanya Perang Banjar. Batu bara menjadi salah satu sebab
meletusnya Perang Banjar, karena hal itu menjadi bagian dan politik ekonomi
imperialisme dan kolonialisme Nederland.
Sebagai kekayaan alam yang bisa memberikan devisa negara,
‘perburuan’ batu bara di Kalimantan Selatan khususnya, yang diikuti dengan
timbulnya masalah lain seperti pencemaran lingkungan, masih terus berlangsung
hingga sekarang.
Batu bara yang menjanjikan uang, seolah tidak pernah sepi
dari ‘pertikaian’ di masyarakat. Batu bara, ibarat pisau dengan dua mata yang
masing-masing sisi matanya mempunyai ketajaman kepentingan yang saling
bertentangan: satu sisi menimbulkan devisa dan di sisi lain mencemari
lingkungan.
(Pangeran Antasari dan Meletusnya Perang Banjar – Datu Mangku Adat Syamsiar Seman)
Sumber : https://kesultananbanjar.id/batubara-salah-satu-penyebab-perang-banjar/
Posting Komentar