Urang Banjar yang menunaikan ibadah haji ke Mekah sudah berlangsung lama. Diperkirakan sekitar Abad ke-17 atau tahun 1600 an, Urang Banjar sudah berhaji.
Asal usul gelar haji di
Tanah Banjar, sulit ditentukan kapan mulai kurun waktunya. Diduga pemakaian
gelar haji adalah budaya masyarakat Melayu Banjar sebagai bagian penghargaan. Gelar
Haji sebagai apresiasi tingkat kesulitan mereka hingga menyelesaikan ibadah.
Mulai pesiapan, mengumpulkan modal hingga rangkaian ibadah haji yang memerlukan
ketahanan fisik.
Pada masa lalu, naik haji sangat sulit, butuh perjalanan berbulan bulan dengan
kapal laut. Belum lagi, banyak yang meninggal di perjalanan. Suatu ibadah maha
berat. Karena itu urang Banjar yang berhaji, layak mendapat penghargaan gelar
Haji.
Haji sebagai bagian budaya, kemudian mengalami dinamika era kolonial. Makna
politis ibadah haji dirasakan serius tercermin dalam Ordonansi Haji tahun 1825.
Berisi pembatasan dan pengetatan jumlah haji yang berangkat.
Hal paling menonjol ordonansi baru ini adalah pemberlakuan ujian haji bagi
mereka yang baru pulang dari Tanah suci. Jika seseorang sudah dianggap lulus
ujian ini, ia berhak menyandang gelar haji. Dari sinilah latar seorang haji
wajib berpakaian khusus berupa jubah, surban putih, atau kopiah putih.
Mengapa gelar haji wajib disematkan? Tujuannya mempermudah kontrol dan
pengawasan. Pemerintah kolonial tak mau repot mengawasi satu per satu haji di
daerah. Jika ada pemberontakan berdasar agama meletus, pemerintah tinggal
mencomot haji-haji di daerah tersebut.
Sumber narasi: Mansyur, S.Pd, M.Hum dosen pendidikan sejarah ULM
Sumber: KITLV & TropenMuseum.
Dari Instagram @sejarahkalsel.id
Posting Komentar