Sumber foto : migoberita.blogspot.com dan jejakrekam.com |
SEBUAH bangunan
langgar berlantai dua, terletak tepi jalan (siring) Piere Tendean, Banjarmasin
Tengah, Kota Banjarmasin. Itulah Langgar Al-Hinduan yang memiliki sejarah
panjang. Lebih dari satu abad, tepatnya sekitar 106 tahun sejak dibangun tahun
1915. Didirikan Habib Salim bin Abubakar al-Kaff atas tanah wakaf istrinya,
Syarifah Salmah Al-Hinduan. Dari marga istrinya tersebut, diabadikan menjadi
nama tempat ibadah ini.
Langgar yang
juga mendapat sebutan Langgar Batu ini juga menjadi saksi bisu perkembangan
Nahdlatul Ulama cabang Banjarmasin pada tahun 1931.
Pada 19 Rabiul
Awwal 1355 H/9 Juni 1936 M diadakan Muktamar NU-11 di Banjarmasin (Juni 1936).
Muktamar NU ke-11 dihadiri KH. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar) dan utusan-utusan NU
dari luar Kalimantan, pimpinan majelis konsul dan beberapa cabang/majelis wakil
cabang/ranting NU wilayah Kalimantan sendiri. Utusan muktamar, terutama dari
luar Kalimantan, ditempatkan di rumah Haji Gusti Umar (berlokasi di Sungai
Mesa) yang pada waktu itu berfungsi sebagai kantor NU cabang Banjarmasin.
Muktamar NU -11
digelar di sebuah rumah bertingkat dua milik Haji Saal, di tepian sungai
Martapura (persisnya di samping kiri Langgar al-Hinduan sekarang, Jalan Piere
Tendean). Masyarakat dahulu sering menyebutnya rumah bertingkat di Jalan Sungai
Mesa. Rumah bertingkat dua (di samping langgar Al Hinduan) tersebut dalam
Berita Nahdlatoel Oelama, disebut "Gedung Congres" Sungai Messa 23.
Muktamar
Nahdlatul Ulama Ke-11 di Banjarmasin, menghasilkan keputusan pendapat NU bahwa
Indonesia (ketika masih dijajah Belanda) adalah dar al-islam sebagaimana
diputuskan dalam Muktamar. Pada kemudian hari menjadi suatu keputusan yang
kelak menjadi landasan para ulama mencetuskan resolusi jihad menghadapi Belanda
dan sekutunya yang hendak menjajah kembali Indonesia pada 1945-1949.
Sumber
: instagram @sejarah.banjar
Link artikel
asli : https://www.instagram.com/p/CTZKdH7PHFU/
Posting Komentar