Sumber foto : apahabar.com |
Munculnya buaya menjadi kisah tersendiri di balik liuk-liuk sungai di
Banjarmasin. Reptil bertubuh besar ini sempat meresahkan warga di pesisir sungai
Barito akibat berbagai aksinya. Puncaknya dalam kurun waktu 1926-
1930. Pemerintah Hindia Belanda bahkan membuat sayembara: hadiah akan
diberikan kepada siapapun yang berrhasil menangkap buaya.
Pemburuan crocodylus raninus (buaya) semakin meningkat setelah warga tahu kulit
buaya dapat dijual. Carl H. Boehringer pada 1932 menuliskan, terdapat beberapa perusahaan skala kecil yang
bergerak di bidang pengolahan kulit reptile dan kulit binatang lain di Banjarmasin.
Seperti perusahaan Firma Neuffer dan Borneosche bont dan Lenderindustrie Bandjermasin,
Borneo
Berbagai media menurunkan sejumlah peristiwa mengerikan terkait sepak
terjang buaya. Tilburgsche Courant dan Algemeen Handelsblad edsi 6 April 1926
serta Limburger koerier edisi 9 April 1926, melaporkan bahwa penduduk Bernama
Amit diseret buaya ke dalam sungai. Saat itu Amit beserta istrinya baru saja Kembali
selepas menikmati pertunjukan di bioskop di Banjarmasin. Musim hujan membuat
jalanan melumpur. Mereka membersikan kaki di sungai di belakang rumah. Tiba
tiba, seekor buaya muncul menangkap kaki amit, dan menyeret kedalam sungai.
Sempat terjadi tarik menarik antara buaya dan istri Amit yang sigap
menyelamatkan suaminya
Peristiwa serupa terjadi pada pertengahan tahun 1928. Seorang penduduk
Banjar di kampung Taluk Dalam, Bandjermasin, sedang mandi di
sungai di depan rumahnya sekitar pukul 7.30 malam. Tiba-tiba, buaya menyerang
dan korban tersikap serta langsung berteriak minta tolong. Pada saat mendengar
teriakan korban, penduduk bergegas menghampirinya. Untungnya, tidak ada
korban jiwa saat itu. Dengan kondisi berdarah dari banyak luka, pria malang itu
segera diangkut kerumah sakit. Demikian dituliskan koran De Sumatra Post edisi
10 Mei 1928.
Setahun kemudian, pemberitaan dikoran kembali ramai dengan kisah
pergulatan manusia dan buaya seperti yang di tulis di koran Soerabaijasch
handelsblad edisi 15 Maret 1929. Seorang penduduk Bernama lima di sergap buaya
pada suatu malam di Banjarmasin. Pria itu baru saja hendak Kembali ke rumah
selepas acara syukuran. Setelah selesai acara , dia ingin melangkah keperahu kecil
yang terletak di sungei Wilhelmina (Sungai di Kawasan Belitung sekarang). Tibatiba, buaya datang menyambar dan menyeret kedalam air.
Lima berteriak meminta tolong. Karena belum seluruh penduduk pulang
setelah syukuran selesai, maka segera menyelamatkan Lima. Sayang, semua sudah
terlambat. Buaya dengan cepat membawa badan Lima ke dasar air. Semua
penduduk malam itu telah mencari keberadaan tubuh lima, tetapi tidak ditemukan.
Buaya sudah merambah kekawasan perkotaan di Banjarmasin yang padat
penduduk, oleh karena itu kejadian buruk serupa sering terjadi, penduduk
dianjurkan untuk selalu membawa pisau kecil Ketika berpergian. Alasannya ,
hewan berdarah dingin itu mengintai
Buaya ternyata tidak pandang bulu. Tidak mengenal usia. Anak kecil
menjadi korban keganasannya di Banjarmasin. Pada suatu sore, sekitar jam 5
dikampung Telok Dalam, tidak jauh dari pusat kota Bandjermasin, berdekatan
dengan rumah kepala kampung, seotang anak perempuan berumur 10 tahun
disambar buaya kecil diabagian paha. Kondisi air sungai saat itu sangat dangkal
sehingga menyulitkan buaya menarik mangsa kedalam air.
Ketika buaya itu melonggarkan gigitanya, anak perempuan menarik
kakinya yang terluka kebelakang dan menjerit dengan keras. Untungnya buaya
tersebut tidak Segera mungkin menyambar sehingga dia bisa melarikan diri dari
sungai. Luka yang ditimbulkan oleh gigi dan kuku buaya tidak berbahaya. Pada
malam yang sama, si anak kemudian di pindahkan kerumah sakit militer untuk
diobati. Demikian diberitakan D Indische Courant 29 Januari 1931 dan De Sumatra
Post edisi 3 Februari 1931.
Pada tanggal 19 Maret 1931, Nieuwe Tilburgshe Courant juga
memberitakan dengan headline “Banjarmasin darurat buaya”. Dua nelayan muda
dikampung bernoea Anjar (Banua Anyar) menangkap ikan menggunakan jaring di
perahu kecil sekitar pukul 11 malam. Dalam terang cahaya bulan, mereka
menyeberangi sungai dengan lebar hampir 100 meter. Di bagian belakang perahu,
duduk pendayung yang langsung memperingatkan temanya Ketika buaya besar
berenang menuju perahu mereka
Pendayung berusaha menghalau buaya. Namun, kibasan buaya membuat
perahu terbalik. Buaya menyergap salah satu nelayan dan membawa kebagian
sungai yang dalam. Sementara nelayan lain berenang dan berhasil mencapai tepian
sungai tanpa terluka. Dua hari kemudian, jasad korban di temukan mengambang
beberapa kilometer dari posisi mereka sebelumnya di sungai.
Tingginya intensitas ganguan buaya inilah yang membuat orang Banjar di
Kween (Kuin), Banjarmasin, serta daerah lainya, membuat Teknik peangkapan
buaya yang dinamakan maalir. Dari beberapa sumber dipaparkan bahwa maalir
layaknya memancing buaya dengan pemancing besar. Ini dilakukan oleh paaliran
atau seorang pawang buaya yang mempunyai ilmu khusus dalam meninakkan
buaya.
Maalir buaya biasa dilakukan Ketika terdapat penduduk yang ditangkap
buaya atau buaya yang mengganggu penduduk di suatu kampung. Untuk
menangkap buaya, tak hanya peralatan pada umumnya yang digunakan, paaliran
juga membawa peralatan magis.
Paaliran memakai pakaian berwarna kuning dan laung saat maalir. Alir
yang di beri umpan makanan buaya ditempatkan di dalam rakit kecil dan diletakkan
di sungai tempat buaya berada. Paaliran menjadi pemimpin pemburuan.
Jika terkena perangkap , alir ditarik dengan perahu menyeret buaya,
kemudian dibunuh. Harus dikerjakan dan dipimpin oleh paaliran. Karena hanya
paaliran yang mempunyai ilmu untuk mmenundukkan buaya.
Sumber : Buku “BANDJARMASIN TEMPO DOELOE” karangan Mansyur, S.Pd, M.Hum, Sub Judul "Perang Warga Banjarmasin Vs Monster Sungai : Kisah Dibalik Munculnya Paaliran Buaya", Halaman 164
Posting Komentar