Foto dari instagram @sejarahkalsel.id
Selain sahang (lada)
Banjar yang menjadi Primadona di pasar Eropa pada abad 18 ada juga Kopra/Kelapa
yang menjadi komoditas andalan pada abad 20.
Pada tahun 1920an perkebunan terutama kelapa dan
karet diusahakan penduduk dan pengusaha swasta di Borneo Selatan . Penghasilan
penduduk juga didapatkan dari kelapa. Tradisi perkebunan rakyat ini dikerjakan
secara luas di seluruh Borneo Selatan. Setidaknya hingga tahun 1930an. Kebun
kelapa memberi tambahan biaya hidup bagi masyarakat.
Terutama saat harga kelapa meningkat di pasar Jawa
dan supply bahan baku dari daerah setempat kurang. Kelapa dari Kalimantan pun
menjadi andalan untuk mencukupi industri kelapa.
Hingga tahun 1926 perkebunan kelapa baik yang
dikelola secara bebas oleh rakyat maupun secara profesional perusahaan
perkebunan di Kota Banjarmasin dan sekitarnya masih luas. Perkebunan rakyat
tumbuh di setiap perkampungan dan di sepanjang aliran sungai.
Persebaran perkebunan merata di berbagai sisi
Kota. Di bagian utara Kota yakni di sekitar aliran Sungai Alalak terdapat perkebunan
Alalak Besar dan perkebunan Tandjoeng Pagar. Sementara di bagian barat Kota di
sekitar Sungai Barito dan Sungai Palamboean terdapat perkebunan Louise
Albertine dan perkebunan Palamboean. Di bagian timur kota yakni di aliran
Sungai Martapura terdapat perkebunan. Pangambangan, perkebunan. Pematang
Ramania, dan perkebunan. Sungai Lokbantan. Sayangnya, memasuki tahun 1930an
kualitas kelapa menurun karena para tuan kebun tidak lagi memelihara kebunnya
seperti dulu. Harga jual yang rendah dan hama merajalela. Kalaupun harga kopra
sedang meningkat, masyarakat tidak merasakan karena tidak mendapatkan informasi
harga. Pihak yang mendapatkan untung adalah para tengkulak.
(Sumber: D. Listiana, Perekonomian di Kota Dagang
Kolonial, 2011)
Dari instagram @
sejarahkalsel.id
Sumber artikel asli : https://www.instagram.com/p/CC-_yFzALFP/
Posting Komentar