Sumber foto : apahabar.com |
Tercatat tahun 1858, ancaman buaya sungai di Banjarmasin dan
sekitarnya sangat mematikan. Wajar bila Boomgard (2001) menulis bahwa buaya
menjadi penyebab kecelakaan paling sering di borneo bagian selatan. Buaya kerap
memangsa manusia, ternak, hingga hewan peliharaan.
Kondisi ini tentunya memusingkan pemerintah Hindia Belanda. Lalu
pada 1858, pemerintah Hindia Belanda mulai memberlakukan premi untuk orang yang
bisa menangkap dan membunuh buaya serta menyerahkan telur buaya untuk
dimusnahkan. Sayangnya program ini tidak berjalan dengan baik. Karena buaya
dianggap sakral oleh masyarakat Banjar dan Dayak.
Namun kesakralan itu mulai tergerus sejak meningkatnya harga
kulit buaya sekitar tahun 1925. Perburuan buaya pun meningkat dengan pesat. Naiknya
harga kulit disertai misi “balas dendam” seakan jadi motivasi urang Banjar
mulai berburu buaya di aliran Sungai Barito. Bahkan di Banjarmasin ditahun 1932
berdiri beberapa perusaahaan skala kecil yang bergerak dibidang pengolahan reptil
dan kulit binatang lain.
Uniknya, orang Belanda pun seakan benci dengan reptil ini. Pemerintah Hindia Belanda bahkan membuat sayembara kepada siapapun yang berhasil menangkap buaya.
Sumber : Buku “BANDJARMASIN TEMPO DOELOE” karangan Mansyur, S.Pd, M.Hum, Sub Judul "Monester Sungai : Epos Pemangsa Paling Ditakuti Warga Banjarmasin", halaman 156
Posting Komentar