BERITABANJARMASIN.COM - Direktur Borneo Law Firm, DR Muhamad Pazri menanggapi terkait RUU yang mencantumkan pemindahan ibukota Kalsel ke Banjarbaru. Ia menilai RUU yang telah disahkan itu bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Mantan Ketua BEM Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini menilai UU Provinsi Kalsel yang baru disahkan tanggal 15 Februari 2022 banyak menuai polimek seperti Pasal 4 Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Kota Banjarbaru.
"Dalam UU Kalsel yang baru disahkan terkesan tidak mengakomodir landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan yuridis, kebutuhan Kalsel dan sangat tidak lengkap serta kedepan akan menimbulkan ketidakpastian hukum," urainya, dalam siaran pers yang diterima media ini, Minggu (20/2/2022).
Ia mengatakan sangat sepakat keberadaan UU Nomor 25 Tahun 1956 jo UU Nomor 21 Tahun 1958 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957, menjadi dasar pembentukan Daerah Swantara (Provinsi) Tingkat I Kalimantan Selatan harus direvisi atau diubah.
Sebab, secara yuridis, dasar pembentukan Provinsi Kalsel dinilai telah kedaluwarsa (out of date),karena dibentuk menggunakan UUDS Tahun 1950, sehingga muatannya dianggap tak sesuai dengan perkembangan ketatanegara terkini.
Namun ia mengkritisi beberapa hal dalam Dan dalam setiap bab dan pasal. Seperti
pada Bab Ketentuan Umum tidak menguraikan secara lengkap istilah-istilah. Kemudian asas dan tujuan dalam Undang-Undang tidak ada. Lalu posisi, batas, pembangunan wailayah dan tujuan provinsi tidak jelas secara detail menyebutkan lintang, derajat serta batas-batas. "Ketika sengketa batas antar provonsi, ini akan jadi masalah baru," tegas Pazri.
Ia juga menyinggung kewenangan dan pembagian urusan Pemerintah Provnisi dalam UU tersebut tidak ada. "Perencanaan pembanguan pun tidak ada, padahal ini pindah ibukota dari Banjarmasin ke Banjarbaru," katanya.
Pazri juga menyorot Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP) yang tidak dimuat, termasuk Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP) juga tidak ada. "Jelas di sana pola dan pembangunan Provinsi Kalsel tidak ada," tambah ia.
Bab partisipasi masyarakat yang menurutnya penting, juga tidak ditemukan. Ia mempertanyakan dimana posisi tawar Pemprov Kalsel dan DPRD Kalsel pada saat proses pembetukan UU tersebut. "Seperti apa kajian teoritik dan praktik empirik masukkannya, ini jadi pertanyaan," cetusnya.
Menurutnya lagi, sudah seharusnya masukan masing-masing kabupaten/kota dilibatkab dan sejauh mana pastisipasi masyarakat. "UU Kalsel sangat prinsip dan sangat serius," ujarnya.
Ia menyimpulkan UU Provinsi Kalsel yang baru disahkan harus dikaji lebih mendalam. perlu diuji publik, karena Pazri menganggap rentan UU Kalsel tersebut digugat ke MK. "Diuji dengan ketentuan Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D ayat (2) UUD 1945," urainya.
UU ini menurutnya bisa digugat melalui judicial review pada Mahkamah Konstitusi Dasarnya adalah Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Serta Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan berbunyi Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh MK.
Seharusnya, ujar Pazri, perlu diingat dalam membuat perundang-undangan yang baik berdasarkan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, harus memperhatikan dan memuat asas, kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan. (rilis)
Posting Komentar