Mendekati tahun 1628, lada yang di produksi Kesultanan Banjar terus meningkat. Hingga saat itu, Banjarmasin menjadi penghasil lada terbesar di Indonesia bagian tengah. Selain diangkut ke orang orang cina, lada diangkut juga ke Jepara, Makassar dan Batavia.
Selain lada, kerajaan Banjarmasin juga berdagang emas, intan, cengkeh, pala, mutiara, kamfer, bezoin, drakendoed, poreo, lilin, dan barang anyaman. Sedangkan barang barang impor yang diperdagangkan di Kerajaan Banjarmasin adalah batu aguat merah, gelang, cincin, tembaga, batu karang, porselen, beras, candu, garam, gula, asam, kain dan pakaian.
Karena pesat nya permintaan lada di kerajaan Banjarmasin, tanah tanah di Banjar menjadi banyak perkebunan. Namun hal ini mengakibatkan produksi pertania (padi) menurun. Terjadi ketidakseimbangan antara produksi lada dan beras.
Hal ini mengakibatkan kerajaan Banjar kekurangan beras. Hingga rakyat Banjar bergantung pada pemasukan beras dari luar. Terutama dari Kotawaringin, Jawa dan Makassar. Beras dengan kualitas harganya bisa mencapai 9 sampai 10 Ringgit sepikul.
Dengan demikian, perdagangan lada pada abad ke 17 sangat mewarnai perkembangan Kesultanan Banjar. Orang orang Banjar yang pada awalnya banyak bertani, mengubah usaha nya menjadi berkebun lada. Terutama untuk daerah yang berpotensi untuk ditanam lada seperti Tabanio, Pelaihari, Pengaron, Alai, Buntok dan sebagainya.
Sumber : buku Sejarah Banjar Balitbangda Provinsi Kalsel oleh penerbit Ombak Yogyakarta. Sub judul "Perkembangan Politik dan Ekonomi Perdagangan" halaman 155-158
Posting Komentar