Kisah Jembatan Ringkap, Jembatan Tertua di Kota Seribu Sungai | Berita Banjarmasin | Situs Berita Data & Referensi Warga Banjarmasin

Rabu, 16 Maret 2022

Kisah Jembatan Ringkap, Jembatan Tertua di Kota Seribu Sungai

 


Pembangunan infrastruktur sungai di Kota Banjarmasin sudah dimulai zaman Hindia Belanda. Tepatnya, pada tahun 1898 ketika penunjukan Residen yang berkedudukan di Banjarmasin, yaitu C.A. Kroesen. Apalagi setelah Banjarmasin berubah status menjadi Gemeente Raad tahun 1919. Status ini menandai penghibahan otonomi yang pertama kepada masyarakat kulit putih di Banjarmasin tercantum dalam Lembaran Negara Hindia Belanda tahun 1919 nomor 252, tertanggal 1 Juli 1919.


Perkembangan modernisasi kota Banjarmasin dengan pusat-pusat perkantoran, bank, firma-firma Belanda, gereja, jalanan kampung Belanda, pasar, alun-alun, sungai dengan jembatan ringkap.


Pembangunan infrastruktur meningkat setelah Banjarmasin menjadi ibukota Borneo 1938. Kalimantan menjadi gouvernorment Borneo yang terdiri dari Karesidenan Borneo Barat dan Karesidenan Selatan serta Timur Borneo yang beribukota di Banjarmasin dengan Gubernur Bauke Jan Haga. Gemeente Banjarmasin ditingkatkan dengan Stads Gemeente Banjarmasin.



Selain itu, dibangun sarana pendidikan anak-anak kulit putih, rekreasi kulit putih, kebersihan kota, penerangan, air minum dan sebagainya seperti terlihat pada jalanan kampung Belanda (Resident de Haanweg). Pembangunan infrastruktur meningkat setelah Banjarmasin menjadi ibukota Borneo 1938. Kalimantan menjadi Gouvernorment Borneo yang terdiri dari Karesidenan Borneo Barat dan Karesidenan Borneo Selatan dan Timur yang beribukota di Banjarmasin dengan Gubernur A. Haga. Gemeente Banjar-masin ditingkatkan menjadi Stads Gemeente Banjarmasin.


Berkaitan dengan infrastruktur kota Banjarmasin, dalam beberapa sumber foto yang dirilis KITLV, tampak beberapa jembatan yang disebut "Ophaal brug". Jembatan itu dapat diangkat bila ada perahu akan lewat ke pedalaman. Satu diantaranya sumber foto tentang pesta pembukaan pemakaian Jembatan Ringkap tahun 1914. Jembatan ini diberi nama Jembatan Coen (Kun). Nama Jembatan Coen berasal dari nama pemimpin Belanda yang bernama Jan Pieterzoon Coen. Kalau sekarang lokasinya di wilayah Jembatan Dewi.


Bagi warga Banjarmasin hal ini unik, sebab merupakan jembatan ringkap terpanjang pertama yang ada di daerah ini yang menghubungkan wilayah Pulau Tatas dengan Hulu Sungai. Pada foto lainnya, terdapat jembatan tarik di pintu masuk kanal yang menghubungkan sungai Martapura dengan sungai Barito di Kuin Banjarmasin sebelum tahun 1944.


Pada lokasi ini adalah bekas bangunan monumental Hindia Belanda di eranya yakni Jembatan Coen (Kun). Nama tersebut berasal dari nama pemimpin Belanda yang bernama John Coen. Diresmikan tahun 1914. Dari segi bentuknya, jembatan ini berbentuk jembatan ringkap yang disebut Ophaal brug.


Jembatan itu dapat diangkat bila ada  perahu akan lewat kepedalaman. Bagi warga Banjarmasin hal ini unik, sebab merupakan jembatan ringkap terpanjang pertama yang ada di daerah ini yang menghubungkan wilayah Pulau Tatas dengan jalam Oelin menuju Hulu Sungai. Kemudian menghubungkan Pekapuran/Pecinan-Ujung Murung/Sudimampir.


Dalam perkembangannya, baru pada tahun 1935 ringkapan di tengah jembatan direnovasi sehingga dapat dilewati kapal-kapal laut. Pada tahun yang sama dilakukan perombakan atau perubahan-perubahan baru & jembatan ini. Oleh masyarakat Banjar, jembatan ini dikenal dengan sebutan jembatan panjang atau jembatan ulin.


Pada tanggal 10 Februari 1942 jembatan Coen diledakkan pasukan Algemene Vernielings Corps (AVC) Belanda sebelum meninggalkan Banjarmasin supaya tidak bisa digunakan Jepang. Hal ini dilakukan atas perintah Gubernur Borneo, Bauke Jan Haga (1938-1942). Selanjutnya bulan Agustus 1942 setelah Jepang menduduki Banjarmasin, jembatan diperbaiki dan diberi nama baru, Jembatan Yamato Bashi atau Jamato.


Demi perbaikan kembali infrastruktur Jembatan Coen, pemerintahan pendudukan Jepang harus menggelontorkan dana sebesar f 8.000. Jembatan Coen yang sebelumnya hanya memiliki lebar 7 meter, ditambah pemerintah Jepang menjadi 8,60 meter. Kemudian Jepang berinisiatif membangun kembali trotoar bagi pejalan kaki di atas badan Jembatan Coen. Ukurannya, lebih lebar dibandingkan ukuran sebelumnya dari 1,20 meter menjadi lebar 2 meter.


Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tahun 1945, dua tahun kemudian tepatnya tahun 1947 jembatan kembali diperbaiki & diperlebar oleh Belanda. Jembatan Coen diambil alih oleh orang Belanda dari tangan Jepang, dan namanya dikembalikan lagi jadi Jembatan Coen, kemudian diperbaiki dan diperlebar sedikit. Jembatan ini dipergunakan pemerintah Hindia Belanda di Banjarmasin hingga penyerahan kedaulatan tahun 1949-1950.


Setelah Belanda meninggalkan Banjarmasin jembatan tersebut merupakan peninggalan Belanda dan perlu dilestarikan dan diperbaiki. Namanya kemudian berubah dengan nama Jembatan Akhmad Yani dan diresmikan pada awal Pelita 3 era Orde Baru. Jembatan Dewi yang membentang di sungai Martapura, yang diharapkan dapat memperlancar arus lalu lintas. Seiring pembangunan bioskop Dewi di area sekitar jembatan ini nama jembatan ini lebih populer dengan nama Jembatan Dewi. 


Depan bioskop Dewi adalah jalan utama jembatan Coen, atau sekarang jembatan A. Yani. Memotong arah ke hilimya lagi kiri kanan ditemukan toko-toko samping jembatan A. Yani, dahulu dibangun toko pada tepi sungai Martapura, sesudah kebakaran dibongkar.


Masalah lain adalah sempitnya jalan-jalan raya, serta daerah daerah yang padat seperti jalan Hasanuddin HM masih menggunakan dwifungsi jalan, artinya satu jalan dengan dua arah. Hal semacam ini mengakibatkan jalan itu cepat rusak. Dalam usaha mengatasinya direncanakan pengaturan jalan yang baik dan benar, dan setelah jembatan Dewi beroperasi maka pengaturan jalan yang baik segera terealisir.


Sampai tahun 1950 baru ada sebuah jembatan utama bernama jembatan Coen/Dewi/Ahmad Yani yang melintasi sungai Martapura di tengah kota Banjarmasin. Pada sungai yang sama kurang dari satu kilometer dari jembatan Coen/Dewi/Ahmad Yani, di sebelah utara di bangun jembatan Sembilan Nopember pada tahun 1960, dan di sebelah selatan dibangun jembatan Sudimampir tahun 1965. Bersama jembatan Sudimampir dibangun pula jembatan Belitung dan Sungai Bilu, masing-masing melintasi anak sungai Kuwin dan sungai Bilu di Banjarmasin.


Perkembangan jalur darat di Kalimantan Selatan berupa jalan padat-keras, berarti harus diiringi pula oleh pembangunan banyak jembatan. Jumlah jembatan di Kalimantan Selatan pada tahun 1970-an adalah 2.515 buah, terdiri dari 140 buah jembatan Negara; 392 buah jembatan propinsi; dan 1.983 buah jembatan kabupaten, yang kalau disatukan keseluruhan panjangnya hampir 10 kilometer.


Mansyur, S.Pd., M.Hum.

Dosen Program Studi Pend. Sejarah FKIP ULM

Ketua LKS2B Kalimantan

Ketua Dewan Riset LAKPL Kalsel

Posting Komentar

favourite category

...
test section describtion

Whatsapp Button works on Mobile Device only

close
pop up banner