Penjemuran Kopi di Palembang Tahun 1920 |
Cuma segelas kopi yang bercerita bahwa yang hitam tak selalu kotor dan yang pahit tak selalu menyedihkan. Filosofi kopi tersebut setidaknya bisa menggambarkan branding kopi khas Kalimantan Selatan era kekinian memang masih tertinggal dibanding kopi jenis lainnya di Nusantara. Sebut saja Kopi Kintamani Bali, Kopi Toraja atau Kopi Gayo Aceh. Bukan karena rasanya yang kurang menarik. Bukan juga dan aroma yang tidak nikmat. Tetapi kopi dari belantara Borneo ini memang belum bisa hadir dalam rantai bisnis kopi-kopi primadona. Padahal terdapat sederet kopi khas Khalsel seperti Kopi Aranio, Pengaron, Mataraman, dan Liberika Bati-Bati. Kopi ini tidak hanya bisa bersaing dari segi rasa, aroma hingga sensasi nikmat tetapi memiliki latar sejarah panjang sejak pertama kali hadir di Borneo.
Bisa dikatakan bahwa dibalik filosofi dan pahitnya, kopi mengandung nilai historis. Seperti Kopi Pengaron yang sudah berusia sekitar 125 tahun sejak awal dibudidayakan di wilayah Pengaron. Catatan pemerintah kolonial Hindia Belanda, kopi Pengaron mulai ditanam di wilayah Sungai Batoe Kapur, Pengaron, Afdeeling Martapura. Memang perlu penelusuran lebih mendalam mengenai lokasinya saat ini, karena memang terdapat beberapa lokasi hamparan batu kapur di berbagai tempat di pengaron. Satu diantaranya area Danau Biru Pengaron yang terkenal dengan keindahan tebing batuan kapurnya.
Sungei Batoe Kapur Pangaron, disebutkan merupakan area tanah sewa atau erfacht. Luasnya sekitar 40 bouw, termasuk wilayah Afdeeling Martapoera, Karesidenan Borneo bagian selatan dan timur. Sejak masa zaman Hindia Belanda pada masa tanam paksa (cultuurstelsel) diterapkan tahun 1830 – 1870, Belanda memakai ukuran ‘bouw’ ini untuk menentukan cakupan luas lahan yang harus ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu dan tarum (nila). Ukuran 1 bouw (1 bahu) menurut catatan ketentuan cultuurstelsel adalah 7.096,5 meter persegi. Pada versi lain ukuran bahu/bouw agak bervariasi, namun kebanyakan adalah 0,70 hingga 0,74 hektare (7.000-7.400 meter persegi) dan ada pula yang menyamakannya dengan 0,8 ha. Dari perbandingan tersebut dapat diperkirakan berapa luas tanaman kopi ketika awal budidaya di Pengaron.
Berdasarkan Surat dan telegram dikumpulkan dari kantor pos pembantu di Pengaron, area penanaman kopi pengaron ini disewa ke Pemerintah Hindia Belanda oleh dua orang penyewa J.TH. Knoblauch dan G. Stout, sejak 26 November 1892. Sebagai catatan J. Th . Knoblauch adalah pemilik perusahaan karet Dutch Borneo Rubber Industrie Co. Ltd. Dalam perkembangannya perusahaan ini dijual ke pengusaha Jepang dan berubah menjadi nama Japanese Dutch Borneo Rubber Industry Company pada tahun 1917. Besaran biaya sewa tanah perkebunan kopi di Pengaron sekitar f 0.25. Nilai 1 guilder atau florin (f.) sama dengan 100 sen mata uang Hindia Belanda.
Mengapa Pengaron dipilih sebagai lokasi penanaman kopi? Kondisi tanah di wilayah Pengaron memang cukup cocok untuk budidaya Kopi Liberika. Karena itulah pada akhir tahun 1894, sudah dibuka 15 lokasi penanaman Kopi Liberika. Kemudian 2 lokasi untuk penanaman Kopi Samindo. Sementara untuk jumlah pekerja di lahan ini memang masih minim, sesuai catatan pada akhir tahun 1893 hanya terhitung sekitar 3 pekerja tetap dan 8 pekerja paruh waktu untuk mengurus budidaya kopi di wilayah ini. Demikian dituliskan di dalam buku Handboek Voor Cultuur en handels Indernemingen in Nederland Indie (Buku pegangan untuk Perusahaan budidaya dan perdagangan di Hindia Belanda) tahun 1896, yang diterbitkan M. Boks Medaille & CO, Batavia tahun 1893.
Sebagai informasi, menurut Peneliti dan pencicip kopi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) di Jember, Yusianto di Harian Kompas edisi 20 Mei 2013, bahwa kopi liberika adalah kopi memiliki cita rasa unik. Bijinya yang besar-besar. kalau dirasakan, kopi ini ada cita rasa sayurnya, seperti kacang panjang mentah. Kopi liberika adalah kopi yang berasal dari wilayah Liberica, Afrika Barat. Kopi ini dibawa ke Indonesia pada abad ke-19 saat banyak tanaman kopi arabika saat itu terserang penyakit. Saat ini, kopi jenis tersebut ditanam di wilayah Jambi dan Bengkulu. Berbeda dengan arabika dan robusta, tanaman kopi liberika berukuran besar, bisa mencapai tinggi 9 meter. Biji kopi liberika juga lebih besar, kadang mencapai dua kali lipat ukuran biji arabika. Yang unik, daun tanaman kopi ini mengandung kafein lebih banyak dari bijinya. Varietas kopi Liberika yang pernah didatangkan ke Indonesia antara lain adalah Ardoniana dan Durvei.
Hal ini senada dengan penjelasan Joseph M. Walsh dalam catatannya tentang Sejarah Kopi, yang diterbitkan di Philadelphia oleh Henry T. Coates & Co. Menurut Walsh, menjelang Abad ke-19, keberadaan Kopi Borneo dengan jenis Liberika memang baru ini diperkenalkan dalam skala kecil. Walaupun demikian, memenuhi espektasi karena komoditas ini bisa berkembang dengan baik. Menghasilkan biji kopi yang lebih bagus dalam skala ukuran, warna dan rasa sesuai dibandingkan spesies aslinya. Kopi Liberika Borneo ukuran bijinya jauh lebih kecil, tidak cembung atau cokelat, lebih halus dan lebih menyenangkan aromanya apabila diolah dalam berbentuk minuman kopi.
Walsh juga menuliskan bahwa Pulau Borneo (Kalimantan) menumbuhkan aroma kopi yang enak sejak budidaya kopi mulai dibuka di area ini untuk pemukim dari luar pulau. Tercatat sekitar 200.000 hektar lahan hutan telah dipilih oleh penanam dari wilayah Kanton, Eropa hingga Australia untuk tujuan ini. Komoditas baru ini menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan. Kondisi musim dengan curah hujan yang sesuai sehingga tanaman kopi tumbuh dengan sangat baik, terutama Kopi Liberia. Jenis tanaman ini cukup sesuai dan bisa beradaptasi dengan tanah dan iklim pulau ini. Penanaman kopi dilakukan di beberapa tempat ada di sela sela tanaman kacang tanah yang tumbuh subur dengan sangat baik.
Tanaman kopi ini menurut orang Melayu di Borneo bagian barat mulai ditanam secara ekstensif oleh orang Dayak di Sungai Pontianak berdekatan areal pemukiman. Tetapi budidayanya dalam skala yang luas atau sistematis memang belum pernah dilakukan. Walaupun pada dasarnya pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa saat itu tidak berorientasi bersaing dengan kopi produk dari Pulau Jawa. Wilayah perbukitan dimana kopi bisa beradaptasi dengan baik untuk menunjang suksesnya budidaya. Kopi bisa ditanam tanpa kesulitan dan tidak memerlukan biaya yang tidak besar untuk menanam pohon kopi di antara komoditas perkebunan lainnya untuk melindungi tanaman dari sinar matahari secara langsung, seperti yang harus dilakukan di banyak negara lain.
Wals membandingkannya dengan budidaya kopi secara intensif di Pulau Guinea, Fiji, hingga Kepulauan Hawaiian serta di banyak wilayah lainnya di Pasifik Selatan. Tanaman kopi juga telah ada di wilayah Samoa dan pulau-pulau lain selama beberapa tahun telah tumbuh subur, membuktikan bahwa ada kesesuaian tanah dan iklim. Walaupun memang belum menjadi komoditas unggulan yang dikelola secara maksimal sehingga belum menjadi barang dagangan dari pulau-pulau tersebut.
*Catatan dari Diskusi Buku Biji-biji Kopi yang Bercerita di Bumi Borneo (Syam Indra Pratama) di Rumah Oettara, Banjarbaru, Sabtu 12 Maret 2022.
Posting Komentar