Sumber foto : KITLV |
TANGGAL 26 Ramadhan 1241 Hijriyah, ketika Umat Islam di seantero Banjar sedang menjalankan ibadah puasa, di Loji Belanda kawasan Tatas, status Kesultanan Banjar berada di ujung tanduk.
Sultan Adam Al Wasik Billah, ditemani Pangeran Ratu/Nata, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati dan Pangeran Ahmid duduk semeja dengan Opperhoofd Zuid en Oost Kust van Borneo, MH Holewijn dan Komisaris Jenderal Hindia Belanda, L Burgraaf du bus de Gisignes.
Mereka bersitegang membahas perjanjian yang menentukan nasib Kesultanan di selatan Borneo ini. Sultan Adam dan pengikutnya, dalam suasana yang tampak tegang dalam loji yang menjadi kesatuan bangunan dengan Fort Tatas (sekarang Masjid Sabilal Muhtadin Banjarmasin).
Sementara MH Holewijn dan Komisaris Jenderal Hindia Belanda, L Burgraaf du bus de Gisignes kadang tertawa kecil membaca isi perjanjian. Di tengah bangunan yang dijaga ratusan pasukan Belanda. Lengkap dengan meriam canggih Canon Carron pounder 12, yang baru dibeli Pemerintah Hindia Belanda dari Skotlandia.
Pada sore hari yang bertepatan tanggal 4 Mei 1826 M ini, diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam.
Dalam perjanjian tersebut Kesultanan Banjar yang diwakili Sultan Adam, mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah leenstaat, atau negeri pinjaman.
Atau dengan kata lain Kesultanan Banjar sudah tergadai. Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali. Kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik Belanda.
Sumber narasi: Mansyur, S.Pd, M.Hum dosen pendidikan sejarah ULM
Dari Instagram @sejarahkalsel.id
Posting Komentar