BOCAH-BOCAH itu memutuskan dengan murah hati bahwa tempat bermain terbaik di dunia pagi itu adalah sungai. Sungai Martapura di bantaran siring dekat Jembatan Merdeka.
Musa Bastara | BANJARMASIN
Suara kelotok di kejauhan pertanda bagus. Mereka segera naik ke tebing dan menanti ombak datang bergulung-gulung saat kelotok berlalu. Mereka mengakhiri aksi dengan melompat, jumpalitan, memamerkan akrobat berputar di udara, sebelum tenggelam ditelan air seperti jagung dilempar ke panci rebusan. Lalu, mereka melakukannya lagi, berulang kali, sambil tertawa-tawa.
Ketika ditanya alasan mandi di sungai, terus terang mereka bilang, air ledeng di rumah lagi mati. Tapi, kata mereka lagi kepada beritabanjarmasin.com, jika air tidak mati pun, kami tetap suka mandi di sungai.
Adakah, saat telah dewasa nanti, mereka mengingat momen itu sebagai kenangan yang tak akan pudar? Jika meminjam nukilan penulis Prancis populer abad ke-19, Guy de Maupassant, maka ingatan kata dia, adalah dunia yang lebih sempurna daripada alam semesta: ia menghidupkan kembali yang tidak lagi ada.
Jika sungai terlanjur menyusut, atau hilang sama sekali, maka satu-satunya yang masih ada dari kita adalah ingatan. Merawat sungai adalah merawat ingatan tentang sungai, tapi kalimat itu terlalu cepat jika ditaruh di tulisan yang baru tak seberapa panjangnya ini.
Aku lahir dari kedalaman, tempatku di waktu kecil menjejakkan kaki di sungai yang kecoklatan airnya kami menyelam; mengenggam lumpur di tangan kiri mencoba meyakinkan yang lain bahwa kami telah sampai di dasar sungai
Puisi berjudul Prolog yang ditulis oleh Hajriansyah adalah bukti bahwa, di mana pun sekarang ia berada, sungai tumbuh jadi sesuatu yang akrab. Ini wajar, lantaran sungai bagi Hajriansyah seperti hari ke hari, tahun ke tahun: ia kecil sering bermain di sungai, ia pulang ke kampung sang ibu lewat jalur sungai, sang ayah adalah orang sungai, bahkan ia nyaris mati tenggelam juga oleh sungai.
Saat ia intens bergaul di Taman Budaya (masih SMA) dan acap mengikuti diskusi-diskusi, budaya sungai semakin melekat di kepalanya. Dalam esainya di buku Jeda Kebuau yang terbit tahun 2013, salah satu tulisan tentang sungai tentu tak berjamur jika ditarik ke masa saat-saat ini. Ia menulis, "Sejak Belanda masih berkuasa wacana pemindahan ibukota itu sudah digulirkan. Tapi tetap saja kita berpihak pada nilai strategis atas keberadaan muara sungai Barito ini. Artinya kita percaya inilah yang menjaga kemakmuran kita hari ini, jika memang kemakmuran itu ada. Tapi sejauh manakah kepedulian masyarakat kita terhadap perkara-perkara kesungaian yang menjadi persoalan hari ini?"
Kota Seribu Sungai dan Membicarakan Salah Satunya
Banjarmasin seringkali disebut sebagai kota seribu sungai. Jika seribu, apakah kita tahu nama-nama yang seribu itu? Atau paling tidak setengahnya? Berdasarkan data dari instansi Statistik Kota Banjarmasin, sungai di Banjarmasin berjumlah 102, dengan sungai terpanjang Sungai Martapura (25.066 meter), terlebar Sungai Barito (725 meter), dan total panjang semua 185 kilometer. Kurang lebih seperti kau berjalan dari ujung ke sisi ujung yang lain di negara Kepulauan Marshall.
Disebut kota seribu sungai diperkirakan karena sekitar 98.46 kilometer wilayah merupakan kepulauan terdiri dari sekitar 25 pulau kecil, yang dipisahkan oleh sungai-sungai seperti Insan, Kelayan, Rantauan Keliling dan lainnya.
Dari 102 itu, tak afdol rasanya jika tak menengok salah satunya. Sungai Kuin adalah sungai yang menghubungkan sungai Barito (jalur angkutan laut) dengan sungai Martapura (jalur sungai besar). Konon, kawasan sepanjang Sungai Kuin merupakan permukiman paling awal masyarakat Banjar. Masyarakat Kuin membangun rumah-rumah di sepanjang jalur sungai, di tepian atau di atas sungai, dengan menghadap arah sungai dan arah darat. Beranda depan menghadap ke darat dan beranda belakang menghadap sungai dan atau sebaliknya.
Sungai Kuin, anak sungai Barito dahulu merupakan jalur pengangkutan getah karet. Anak sungai Kuin di antaranya sungai Jagabaya dan sungai Pangeran yang hanya dapat dilewati perahu-perahu kecil.
"Dulu," kata Mashur, sesepuh masyarakat Kuin (pada tahun 2018 dalam jurnal), "perkampungan Kuin hanya terdiri dari puluhan rumah. Seiring waktu, berdatangan penduduk dari berbagai daerah seperti di Hulu Sungai Selatan, khususnya Nagara."
Kendati begitu, mayoritas penduduk Kuin sebetulnya masyarakat Banjar. Pendatang, seperti suku Jawa dan Madura, misalnya, bermukim karena alasan pekerjaan. Pada mulanya peduduk Kuin bermata pencaharian sebagai penangkap ikan, pedagang di tepi sungai atau di atas jukung (perahu khas Banjar), membuka usaha di depan rumah, menjual sembako, sayur dan buah-buahan, ikan, serta sandang dan warung makan.
Mata pencaharian lain penduduk di sana adalah jasa kelotok wisata susur sungai. Keahlian mereka mengendarai kelotok juga menjadi bukti bahwa sampai tahun 1950, ketika transportasi darat belum pesat berkembang, masyarakat Banjar menggantungkan kehidupan pada transportasi sungai. Mencari penghasilan untuk kehidupan sehari-hari memanfaatkan sungai.
Kian kemari, perubahan sungai sejalan dengan perubahan cara hidup masyarakat Banjar. Jika dulu sungai digunakan untuk mandi, mencuci baju, mencuci beras dan sebagainya, sekarang dimanfaatkan jika genting saja, atau bila memang terpaksa. Tapi memang tak bisa sesinis itu, bahwa perubahan ini ada kaitannya dengan telah tercemarnya air akibat pengurukan dan lain hal.
"Sejak kecil aktivitas saya berhubungan dengan sungai. Sungai jernih dan sehat untuk dikonsumsi dengan disaring. Sekarang air sungai kotor dan tercemar," kata Ida Riswanti, salah satu penduduk Kampung Kuin.
Adapun, pertumbuhan permukiman di tepi Sungai Kuin yang bertambah padat, lebar palung Sungai Kuin berkurang hingga separuh lebar palung sesungguhnya.
Pemulihan dan Tahap-tahapan Pemertahanan Sungai
Akhmaf Arifin (64), pegiat lingkungan yang namanya bergaung karena Gerakan Sedekah Oksigen yang ia gagas, pada 2021 lalu kembali datang dengan satu gerakan. Gerakan itu bernama Gerakan Balingai, akronim dari BAnjarmasin peduLI suNGAI.
Fokus pertama dalam gerakan itu sendiri membidik sungai-sungai kecil di kawasan perumahan. Menurutnya, sungai kecil sangat strategis fungsinya sebagai tandon air menanggulangi bencana kebakaran kawasan pemukiman, juga drainase utama kota dalam mengendalikan genangan akibat curah hujan dan genangan dampak air laut pasang.
Gerakan Balingai dalam bentuk aksi sudah berkegiatan oleh komunitas dan warga, dimulai dengan upaya menormalisasi sungai. Salah satunya yang terjadi di Sungai Tungku Kelurahan Sungai Miai bulan Juli hingga Agustus 2021.
"Best practise yang dilakukan kawasan kelurahan Sungai Miai ini dapat menginspirasi dan memotivasi seluruh warga kota Banjarmasin dalam upaya kita membangun kesadaran kolektif, mengambil hikmah di balik musibah bencana besar banjir Kalimantan Selatan pada Januari 2021 kemarin," katanya kepada beritabanjarmasin.com pada 16 Juni 2022. "Gerakan Balingai mendapat diapresiasi wali kota," tambahnya.
Dalam buku Lambut, Manusia dan Masyarakat Sungai dengan Kearifan dan Tata kehidupannya (2018) membagi tahapan-tahapan pemertahanan. Pertama, tahap normalisasi, adalah tahapan pembenahan terhadap sesuatu yang tidak lagi sama. Tahap ini ialah yang paling berat dan sulit. Perlu ada perubahan sikap atas kebersihan, ketertiban, kebaikan. Target dari tahap ini sendiri untuk mengalirkan air sungai keluar masuk, meski ada sungai bersifat pasif (tidak memiliki sumber air tersendiri.
Pada tahap refungsionalisasi ialah peran sungai sebagai jalur transportasi air. Transportasi jukung, misalnya, difungsikan kembali untuk pasar-pasar di sungai agar aktif beroperasi. Pada tahap ini kualitas air jaringan sungai boleh jadi masih rendah, namun sudah ada perbaikan mutu.
Tahap revitalisasi fokus kepada peningkatan kualitas air jaringan sungai yang telah melewati tahap refungsionalisasi dan normalisasi. Saat sungai sudah pulih, maka perlu ada penataan kehidupan masyarakat yang bermukim dekat sungai. Keindahan lingkungan mulai dilancarkan. Kepulihan ini sejalan jika didukung cara berpikir masyarakatnya. Bisa dibangun balai-balai, misalnya, atau tempat duduk santai. Pohon seperti pohon Ramba Sungai mungkin juga bisa ditanam di banyak tempat.
Tahap terakhir ialah tahap revitalisasi; tahap penikmatan dan pelestarian sungai sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Jika sampai ke tingkat ini, maka boleh jadi ada restoran mewah yang membikin tercengang orang luar lantaran pemandangan sungai sebagai daya tariknya.
Merawat Sungai, Merawat yang Tersisa
Ingatan sukar berpamitan, apalagi ingatan itu adalah yang kau rawat (jika ia berupa tumbuhan, mungkin ia lebih sering kau sirami dibanding bunga garbera atau protea yang kau taruh di halaman depan). Lingkunganmu dekat dengan sungai dan kau tak tahu lagi di mana kau bisa bermain, selain hutan memang masih ada, kolam ikan, atau atribut-atribut megah sebuah desa yang, kau pikir, susah ditemukan di belantara kota.
Salah satu ingatan konyolmu tentang sungai mungkin adalah ketika kau masih agak dungu dan pemalu. Saat kau balumba (mandi) di sungai bersama teman-temanmu, salah seorang mendorongmu dan kau nyaris tak menyadari, sedikit lagi mulutmu yang berkecuap seperti ikan lundu, menyentuh "sosis potong" yang acap dimuntahkan jamban.
Saat itu kau tak kepengin membalas, karena kau pikir tubuhnya lebih besar dibandingmu dan untuk mengalahkanmu, paling ia cuma berdehem sekali dan kau pasti agak takut. Namun, mengingat itu, membikinmu sedikit bahagia, sekaligus ingin membenturkan kepala temanmu itu, yang mungkin kini tak lebih besar darimu, ke dinding sambil tertawa-tawa.
Itu cuma satu kisah yang bisa kau ceritakan, dari puluhan kisah lain tentang sungai. Saya hendak bercerita lagi tapi, katamu, tulisan ini sudah terlalu panjang. Intinya, bagimu sungai adalah bagian yang tersisa dari masa lalu. Caramu merawat sungai adalah caramu merawat ingatan tentangnya, bahwa sungai bagimu sangat berarti, bahwa kau perlu menularinya. Setidaknya mereka mesti peduli dulu, katamu, entah kepada siapa. (musa/sip)
Posting Komentar