Rumah ini terletak di sudut Pasar Batuah, dinding-dindingnya yang berwarna hijau telor asin beberapa bagian terlihat jangat. Suara pemilik rumah terdengar menyuruh naik. Secara bersamaan kami duduk bersila di ruang tamu. Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling, mendapati dua kamar serta sebuah dapur yang posisinya malah bukan di belakang, melainkan di bagian depan rumah. Di sana botol-botol kaca sebagian sudah dicuci dan sebagian belum, tergeletak di sudut.
Musa Bastara | BERITABANJARMASIN.COM
"Sudah libur dua hari sebelum kejadian itu," katanya. Saya lekas mafhum bahwa "kejadian" yang dimaksud ialah soal rencana penggusuran yang kemudian ditunda.
Perempuan berusia 60 tahun ini menceritakan pagi tadi ia ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi sang suami. Dalam salah satu kamar saya melihat seorang pria tua grasah-grusuh berusaha mengintip ke luar sebelum berbaring lagi di ranjang. Itu adalah suami Ibu Sarinem atau karib disapa Mbah Inem. Suaminya sudah 8 tahun menderita pembesaran jantung, atau dalam istilah medis disebut kardiomegali. Kondisi ini mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah. Apalagi sudah lebih 50 persen. Oleh karena itu suaminya sering dibawa ke rumah sakit karena tiba-tiba pingsan akibat darah tinggi.
"Sekarang cari napas aja susah, nggak bisa tidur, duduk aja semalaman sambil batuk-batuk. Kalau mau tidur ia bilang dada nyesek," ucapnya lirih.
Biasa rutin setiap bulan ke rumah sakit. Jika tidak sedang sakit, suaminya berjualan tahu goreng di jalan. Obat cuma meredakan rasa sakit. Ada begitu banyak obat yang harus ditelan suaminya, untung obat-obat sebagian didapat dari rumah sakit dengan memakai BPJS, tapi sebagian lain ada ia beli dari apotek. Harga obat jantung dominan mahal. Ia menunjuk ke kantong putih yang digantung di sebuah cantelan. Kantong itu hampir penuh dengan berbungkus-bungkus obat kimia. "Jika habis obat pasti kumat, jadi nggak bisa kalau nggak ada obat."
Putranya adalah driver ojek online (ojol). Penghasilannya sehari tak menentu, bahkan bisa dibilang minim. Ditambah ia harus mempertahankan dapurnya sendiri tetap mengepul. Dia sudah beristri dan telah pisah rumah dari orangtua. Mbah Inem sebetulnya memiliki dua orang anak, tapi malang, anak sulungnya meninggal saat masih kecil akibat paru-paru basah.
"Bapak kadang kerja kalau sehat, kalau nggak ya di rumah aja. Jadi yang bayarin air, listrik, dan makan kebanyakan dari pendapatan saya. Dengan jualan jamu gendong," cetusnya.
Sedari jam tiga subuh ia sudah bangun untuk mempersiapkan olahan jamu, tahu bacem, dan pentol yang dia jajakan saban hari ke Pasar Sungai Lulut. Tahu bacem biasanya yang paling lambat matang. Bermacam jenis jamu, mulai dari jamu kunir asem, beras kencur, pahitan maupun sirih, diolah sendiri. Yang paling diminati kata dia, adalah jamu sirih karena menghilangkan bau badan.
"Kalau kencur menggemukkan badan," ucapnya. Saya segera bertempik gembira. Kami berdua tergelak.
Pengalamannya berjualan jamu memang sudah sangat lama. Sejak dari tahun 1977 ia mulanya ikut sang bibi. Pertama, ia bawa sedikit-sedikit ember berisi air cucian gelas. Lalu setelah agak dewasa ia dibebaskan buat mengangkat nan berat-berat. Kemampuannya membuat jamu diturunkan oleh sang bibi, ketika bermukim di Solo sampai kemudian ia dibawa ke Kalimantan dan menetap di Pasar Batuah saat usia masih lima tahun.
Jamu gendong menurutnya adalah tradisi. Bagi masyarakat, jamu adalah tandha urip yang berarti pertanda hidup manusia. Lantaran jamu memiliki pelbagai tujuan dalam mengonsumsinya.
Beberapa bibi jamu kebanyakan telah memilih tak lagi menggendong sehingga berganti dengan menjajakan bersepeda. Mbah Inem tak pandai bersepeda, apalagi sepeda motor, tapi ia memastikan tubuhnya lebih kuat dari besi-besi buatan itu meski sudah masuk kepala enam. Jarak antara pasar tempat ia menjajakan jamu dan rumahnya sekitar 2,5 kilometer lebih. Sewaktu-waktu diantar suaminya bila sedang sehat, atau bisa pula anaknya.
Dulu ia berangkat ke sana cuma berjalan kaki, tentu saja, sambil membopong beban yang demikian berat. Jika separuh jalan dirasa penat, ia menanti taksi kuning lewat. Tetapi, dulu memang tak semacet seperti sekarang, dan taksi kuning masih plintat-plintut di jalanan, yang kini jumlahnya sudah bisa dihitung jari.
Ia baru berangkat ke Pasar Sungai Lulut dari jam enam pagi dan pulang jam satu siang, atau lebih sedikit. Sebelum berangkat, ia selalu mencicipi jamu racikannya. Ia merasa itulah yang membuat ia selalu kuat bekerja seharian meski membawa bakul berisi botol-botol jamu. Di Jawa kata dia, bakul itu disebut tenggok atau senik. Hampir seluruh bahannya terbuat dari bambu yang dianyam sedemikian rupa.
"Tenggok ini saya sayang. Digendong setiap hari kayak anak sendiri," katanya.
Tak dinyana, ia mengajak saya ke dapur untuk memperlihatkan langsung cara menggendong jamu. Mula ia mengangkat tenggok berisi gendul jamu di bawah ketiak, sebelum seketika dengan gesit digendongnya tenggok di punggung dengan selendang. Tangan kirinya menenteng ember kecil. Dengan berjam-jam seperti itu, ia mengakut punggungnya sering terasa nyeri.
"Pernah saya terjungkal saat berdagang dan jamu nyaris tumpah semua."
Selain itu ia menjelaskan pembuatan jamu dengan cara sederhana, yang mudah saya mengerti, tapi tetap saja sulit buat saya terapkan.
Langkah pertama ialah mencuci dan membersihkan empon-empon seperti kencur, kunyit, cengkeh, kayu manis dengan air mengalir dan merendamnya dengan air bersih. Lalu disangrai dan direbus. Setelah itu barulah ditumbuk halus dengan lumpang yang belakangan untuk memudahkan dengan blender, direbus lagi, baru kemudian disaring sambil dimasukkan gula dan garam.
"Tapi sehari saya nggak mencuci banyak, karena bila langsung banyak takutnya busuk. Jadi secukupnya saja."
Sepulang dari menjamu, ia biasa membagikan satrup secara cuma-cuma kepada anak-anak di Pasar Batuah. Mereka sangat bahagia dikasih jamu cuma-cuma dan sering menyapa Mbah Inem di mana pun kalau sedang berpapasan. Ia sendiri senang berada di sekitar anak-anak, di antara rumah-rumah yang memberikan kehangatan, dan itu dirasanya hanya ada di Pasar Batuah.
Meski beberapa bagian atap rumahnya bocor, tapi rumah sederhana ini membawa bermacam sukacita. "Rumah emang nggak bisa memperbaiki, tapi syukurlah ada tempat yang ditempati. Kalau digusur terus disuruh pindah, kami nggak punya tabungan untuk sewa. Toh memperbaiki pintu aja nggak bisa."
Saat ada pembongkaran waktu itu, suaminya disuruh di rumah saja karena takut jantungnya kumat, sebab kaget. Jika kaget maka sulit bernapas. Mana saat itu tentara berderet di tengah jalan, anjing-anjing pelacak besar, dan alat berat siap diterjunkan. Ia cuma berdoa sambil berharap agar rumahnya dan rumah-rumah lain di Pasar Batuah tidak digusur.
"Di sini nggak ada bertengkar, nggak ada saling dengki, jadi kalau disuruh pindah rasa keberatan. Kami sudah akrab, sudah seperti keluarga," tutupnya.
Lantas saat matahari sudah menyalang di ubun-ubun, saya pamit tanpa merasakan sedikit pun jamu Mbah Inem karena hari itu ia tak sedang mengolah. Kecewa, tentu saja. Tapi telah saya ucapkan kepadanya, "entar kapan-kapan saya mau membeli jamu, bude. Saya mau beli sebotol beras kencur, supaya cepat gemuk," sambil terkekeh-kekeh. (musa/sip)
Posting Komentar