Akhir tahun kemarin, ia mengunjungi toko buku tua di pusat Banjarbaru. Toko buku itu telah berusia puluhan tahun. Luasnya tak seberapa, serupa bagasi nan muat untuk satu mobil.
Musa Bastara | BANJARBARU
Di ruangan kecil itu sebuah kipas angin berderak di langit-langit. Udara berembus masuk ke dalam sekaligus terlempar ke luar. Benda di ruangan itu--radio, jam dinding, kalender, dan tentu saja, buku-buku--bagai telah lama kehilangan gairah. Lama tak tersentuh. Sepuh dan berdebu.
Toko buku Hamdi dijaga oleh seorang pria berambut cepak. Semacam membesuk, tapi sebelum datang ke sana, ia sendiri tak yakin toko buku itu masih ada. Ia pernah ke sana, dan kondisi toko saat itu memang tak lebih baik dari hari ini, atau esok. Ia bercakap-cakap dengan si penjaga toko buku, menyadari ada sesuatu yang lebih genting dari buku itu sendiri.
Ketidakmampuan untuk bertahan, sering jadi salah satu perkara pokok, serta dibuntuti banyak alasan-alasan lain yang membikin toko buku akhirnya memilih gulung tikar. Toko buku Hamdi sama sekali tak hendak meniru, tak pula datang dan berakhir dari niat meniru. Mengingat perannya dulu membantu mahasiswa mencari bahan-bahan perkuliahan, sulit buat mengambil "napas penghabisan".
Tapi betapapun, si penjaga toko buku dengan nelangsa mengatakan kepadanya, "Tahun depan, toko buku ini sudah akan tutup."
Tidak terlintas dalam benaknya bahwa, sepulang dari sana, ia tak sekadar mengantongi sebuah buku, tapi juga kisah sedih, kegelisahan; semua itu tak sekonyong-konyong tumbuh jadi satu gagasan.
Menjadi gagasan baru ketika ia, yang kita ketahui kemudian bernama Rafii, bersama komunitasnya, Arkalitera, selesai menggelar webinar dengan tema "Bagaimana Mendapat dan Mengolah Ide Menjadi Cerita Pendek?". Dinarasumberi oleh novelis Sandi Firly, diskusi padsla Rabu 20 April 2022 tersebut diikuti terbatas 25 orang.
Sebagai kelanjutan, serta usaha menerapkan ilmu yang diserap, mereka mengajak peserta untuk membuat setidaknya satu cerpen dengan tema yang sudah ditentukan. Tema tersebut tak lain muncul dari ingatan Rafii tentang toko buku.
"Toko buku sejauh yang bisa saya lihat, cuma dijadikan sebagai pelengkap untuk tak dibilang sebagai hiasan berdebu di pojok ruang kesusastraan," katanya kepada beritabanjarmasin.com.
Event-event besar soal literasi pun, katanya, jarang sekali mengajak mereka secara langsung.
Dari semangat itulah dan semangat ingin membuka mata para penulis, terutama yang ikut terlibat di dalam penulisan itu, bahwa toko buku penting untuk keberlangsungan penulis. "Lebih luas, keberadaan toko buku fisik juga jadi semacam barometer untuk kota kita tinggal, sejauh mana keliterasian kita."
Kemajuan teknologi memang menjadi tantangan bagi mereka yang melangkah di jalan sebaliknya. Toko buku daring tumbuh bak jamur, hingga membuat lingkungan perdagangan yang amat kompetitif. Loyalitas pembeli buku di toko buku luring (tanpa online) seolah dipertaruhkan.
Demi beradaptasi, beberapa toko buku luring terpaksa membuka toko online juga. Namun, ada beberapa toko buku yang tak bisa memanfaatkan, atau memang tak bisa sama sekali bermain di wilayah online, sehingga ia merasa satu-satunya arah setelah kalah, ialah pergi dari bisnis tersebut.
Apalagi kita tahu, urusan-urusan seputar elektronik/online (meminjam istilah Dea Anugrah) dapat dijalankan dengan sangkil, mangkus, mudah, dan aman.
Kendati toko buku daring memang sudah bejibun, dan toko buku besar (mayor) masih ada beberapa, tapi keberadaan toko buku kecil menurutnya tetap perlu untuk para penulis lokal, untuk menjual bukunya yang terbit indie. Yang tak tembus toko,.
Menurut Rafii lagi, argumen bahwa semua orang saat ini bisa menjual dan bisa membeli itu tak relevan di Kalimantan Selatan, sejauh mana yang dapat kita pahami, pemahaman literasi digital masyarakat kita belum sampai ke titik bisa membeli buku di Jawa dengan bantuan _marketplace_ .
Baiklah. Kembali terkait cerita pendek. Rencananya bakal diterbitkan menjadi buku. Hanya saja masalahnya, Arkalitera yang baru satu tahun berdiri, punya kendala di uang penerbitan. "Kami tidak ingin membebankan biaya penerbitan kepada penulis yang terlibat."
Jika tak bisa buku cetak, maka rencana akan disiapkan jadi buku elektronik saja.
"Tapi mengingat cerpen-cerpen tersebut ditulis dengan semangat 'tak ingin kehilangan toko buku', maka alangkah sayang jika tak dihadirkan di toko buku nyata."
Sebagai pamungkas, kami akan menyalin-tempel salah satu perkataan Rafii kepada beritabanjarmasin.com, yang selalu jadi konsensnya saat menyuarakan sekarat toko buku kecil di kotanya:
Persoalan yang lebih besar justru pada penciptaan ruang diskusi masalah toko buku ini sendiri. Agak miris bila ada satu kota mendaku sebagai kota literasi tapi membiarkan toko buku di dalamnya mati. Kita tentu tak berharap bahwa bakal ada guyuran dana untuk toko buku bersangkutan, tapi setidaknya kalau ada event literasi yang diprakarsai oleh pemerintah dan atau oleh sastrawan, tolong ajak mereka terlibat.
Karena toh pada akhirnya kita akan sadar, persoalan literasi tak cuma soal baca tulis, perpustakaan dan sastrawan, tapi juga akses mudah untuk membeli buku bagi semua masyarakat, tanpa terkecuali mereka yang baru melek terhadap buku. (musa/sip)
Posting Komentar