MEMBACA koran adalah doa pagi seorang realis, kata Hegel, dua abad lalu. Tentu kau bisa mengerti, pada masa itu koran disantap bersama kopi dan roti dan media belum bertingkah. Kini, dunia dibentuk oleh kapitalisme digital. Di mana-mana orang memegang telepon cerdas, seolah yang sebenarnya dipegang ialah diri mereka. Media cetak memasuki senjakala. Lalu, bagaimana nasib para pedagang koran?
Musa Bastara | BANJARMASIN
Di Jalan Simpang Hasanuddin, Kota Banjarmasin, atau karib oleh orang-orang disebut dengan nama Bundaran Koran, kau melihat dua kios koran sederhana sejajar di tepi jalan. Di tengah antara dua kios itu, satu telah jadi unggunan puing; bambu dan kayu dan genting, teronggok tak bertuan. Dari salah seorang pedagang koran di sana kelak kau ketahui unggunan puing tersebut bekas kios koran yang roboh diterpa angin besar. Bukannya dibangun lagi, kios itu dibiarkan roboh untuk selama-lamanya.
Adalah Fani, salah satu pedagang surat kabar atau koran yang masih bertahan. Usianya empat puluh satu tahun. Dengan mata tegas, rambut ikal disisir ke belakang, dan kumis tipis nan mengunci mulut, segera mengingatkanmu dengan Tuco dari film koboi lawas The Good, The Bad, and The Ugly. Tapi bicaranya hemat dan mantap, berbeda dengan Tuco yang ocehannya merangsang rasa ingin menyumbat mulutnya dengan karburator.
Saat kau memarkir motor dan mendatangi kios, ia tengah memainkan telepon, sedang entah di mana, terdengar irama lagu band Dewa 19 dari salon. Sedikit berbasa-basi, bertanya apakah surat kabar baru datang pagi ini, lalu kau mendekatinya sambil berharap ia tak terusik dan mendampratmu.
Ia cemas sebentar, sebelum kau mengaku wartawan dan mencecarnya dengan sejumlah pertanyaan: kapan, di mana, mengapa dan seterusnya, dan seterusnya.
Kau ketahui kemudian, ia berdagang surat kabar sejak 2012. Sepeninggal ayahnya, ia meneruskan usahanya mengecer koran. Tahun 2019, di luar kehendak siapa pun, bisnis-bisnis merosot, tak terkecuali surat kabar. Kau menengok pada beberapa nama surat kabar di antaranya Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Kalimantan Post, Kompas, dan "astaga, ke mana yang lain?"
Sebelumnya pada tahun-tahun ke belakang, ia sudah menduga kehadiran media sosial dan media online bakal menjelma angin besar. Bedanya, angin besar ini tak merobohkan kios dengan sekali tiup, pikirmu.
"Dulu sehari sering ludes (surat kabar), sekarang ibarat cuma 50 persen," katanya kepadamu, di pagi yang tak terlalu biru.
"Majalah-majalah dewasa ini juga dulu banyak peminatnya. Sekarang kan yang gitu-gitu mudah dapat di internet," sambungnya.
Informasi itu tak mengejutkanmu. Di tahun 2017 Nielsen merilis hasil survey berdasarkan Nielsen Customer Media View yang dilakukan di 11 kota di Indonesia. Penetrasi Televisi masih memimpin dengan 96 persen disusul dengan Media Luar Ruang (53%), Internet (44%), Radio (37%), Koran (7%), Tabloid dan Majalah (3%). Keberadaan internet sebagai media dengan tingkat penetrasi yang cukup tinggi menjadi indikasi bahwa masyarakat Indonesia semakin gemar mengakses berbagai konten melalui media digital.
Kendati, untuk mengantisipasi kemungkinan yang lebih buruk dari kian sepinya koran dan majalah, ia juga memperlengkapi kios dengan berbagai amunisi dari buku-buku pengetahuan umum, teka-teki silang, poster mengenal nama-nama hewan dan buah-buahan, hingga kitab-kitab agama serta panduan kerohanian. Jika ingin melihat agama dan majalah pengumbar aurat tampak akur dalam satu meja, pikirmu, kau bisa melihatnya di lapak pedagang surat kabar. Segera kau enyahkan pikiran itu, lantas bertanya. "Terus, koran yang enggak laku bagaimana?"
"Nanti dikembalikan ke masing-masing agen kalau enggak habis. Jadi enggak rugi juga kalau enggak laku."
Anak tiga anak ini juga mengatakan, ia hanya bekerja mengurusi kios. Dulu sering sampai malam. Namun, sebab malam jauh lebih sepi, sekarang jam enam sore sudah pulang. Untungnya masih ada beberapa pelanggan yang setia membeli korannya. "Tapi ya gini, pendapatan tak menentu," pungkasnya.
Seorang ibu berhenti di depan kios dan bertanya kepadanya. Ia memilah beberapa lembar poster dan mengambil empat, bervariatif, dari alfabet hingga nama-nama fauna beserta gambar. "Empat sepuluh ribu, ya?"
Melangkah enam langkah ke samping, kau berpindah ke kios kedua. Di kios itu kau melihat seorang ibu tengah menonton sinetron di salah satu aplikasi daring. Baru bertanya separuh, tanpa ada nada mendesak, kau malah langsung mendapat jawaban oleh si ibu, "Jawaban saya sama saja dengan yang di sana."
Pertanyaan lain berangsur-angsur buyar. Mati kutu, pikirmu.
Namun, kau tidak menyerah dan lekas mengais-ngais isi otak yang lebih dari setengahnya dikuasai rasa kantuk (kau nyaris tak tidur malam tadi). Payah. Kau cuma beroleh satu pertanyaan yang sama: mengapa bisa bertahan?
Si ibu bernama Mutia (34), memasang tampang serius. Berharaplah bahwa ini tak dapat jawaban hambar lagi, katamu dalam hati.
"Yang membikin masih bertahan adalah koran kiloan. 17 ribu sekilo. Koran-koran bekas, tapi bisa dipakai macam-macam." Kau menghela napas lega dan melanjutkan bertanya (satu pertanyaan katrok lagi). "Majalah dewasa masih ada peminatnya?"
Ia menjawab, "Kalah sama internet. Kalau orang nanya gitu, pasti jawabannya kalah sama internet. Internet lebih cepat." Kau tak tahu siapa yang dimaksudnya orang. Orang banyak? Atau wartawan kagok dan cerewet sepertimu?
Tepat di sebelah kios itu, terdapat kios lain yang menjual makanan ringan, minuman, rokok, dan bensin. Itulah usaha keduanya, di samping menjual koran dan majalah. Usaha surat kabar ini didapatnya dari sang ayah yang meninggal setahun lalu. Ia sudah tiga tahun mengurusi kios koran si ayah dan tahu benar bahwa sejak pertama kali menginjakkan kaki ke dalam bisnis ini, ia sudah mesti berhadap-hadapan dengan era digital yang semakin maju. "Mau berhenti, tapi ya sayang kalau enggak dilanjutkan," ucapnya.
Ketika ditanya bagaimana bayangannya terhadap usaha surat kabar ini di masa depan, ia menjawab, "Tergantung korannya sih. Kalau korannya ada, tetap lanjut. Kalau enggak ada, apa yang dijual?"
Setelah pertanyaan kau rasa habis, kau pamit pulang sambil menenteng-nenteng selembar koran Kompas edisi Jumat 17 Juni 2022. Kau tahu, bila ada yang memaksamu untuk membeli koran, jika bukan karena kau ingin membaca cerita pendeknya, maka itu pasti lantaran cerita pendekmu baru saja terbit. Namun, sambil setengah berharap (yang tentu saja konyol), kau membuka langsung ke lembar di tengah. Tentu saja, tak ada cerpenmu, tak ada cerpen siapa pun.
Itu hari Jumat, dan koran itu dibeli dari uang terakhirmu. (musa/sip)
Posting Komentar