Tarian Kupu-Kupu (2021) karya Hajriansyah. |
BERGEMBIRALAH, rayakanlah! dua kata itu seperti langsung menyentak ke dalam pendengaran batin dikala menatap lukisan karya Hajriansyah yang berjudul Tarian Kupu-kupu (2022). Sebuah lukisan yang menjadi bagian, pada pameran tunggal Hajriansyah bertema Intim, di Rumah Oettara, Jalan Junjung Buih, sebelah utara Kota Banjarbaru.
Syam Indra Pratama | BERITABANJARMASIN.COM
Dari puluhan karya lukis yang ditampilkan pada pembukaan pameran tunggal, Sabtu (23/7/2022) itu, lukisan yang satu inilah yang paling menyentak penulis secara pribadi. Dari segi ukuran, lukisan ini memang tidak besar, hanya berukuran 42 x 28 sentimeter. Namun kesan yang didapatkan ketika memandang lukisan ini terasa mengena.
Seorang penari sufistik, menari bersama kupu-kupu. Whirling dhervises atau darwis yang berputar. Seolah-olah mengajak para apresiator ikut menari, entah secara nyata, dalam pikirannya atau dalam relung batinnya itu sendiri.
Penulis teringat dengan perkataan Nasirun, seorang pelukis ternama Indonesia, ketika diwawancara Puthut EA. Ia menceritakan pengalaman batinnya saat melihat lukisan sang maestro lukis Indonesia, Affandi. Dalam lukisan potret dirinya, Affandi (dengan bentuk yang agak "tidak biasa"), Nasirun mengaku sampai menangis karena melihat pesan yang dalam pada lukisan tersebut. Sebuah pemaknaan yang tentu saja tidak bisa dirasakan dalam rentang pengalaman rasa yang singkat.
Secara kasat mata, kita bisa saja menemukan adanya simbol-simbol, ornamen dan keterkaitan karya Hajriansyah dengan religiusitas, politik, ekologis dan post modernisme. Namun tentu saja, sebuah karya lukisan, tidak bisa hanya dimaknai pada apa yang kasat itu tadi, pada permukaannya.
Meminjam kata-kata, Badri Hurmansyah, maka perupa adalah juga seorang pemikir yang dalam. Hasil karyanya tidak jauh-jauh dari manifestasi pengendapan emosi, perasaan dan pikirannya. Menikmati lukisan adalah tentang menikmati perasaan yang kita dapat saat melihat lukisan itu sendiri.
Melihat seorang penari darwis merentang kedua belah tangan, hanyut dalam tarian bersama kupu-kupu seperti memanggil-manggil kita untuk bergembira, merayakan kehidupan dan menertawakan segala hal klise, basa basi dan kekecewaan dalam hidup.
Menemukan Nikmat Kepasrahan dan Kerendahan
Pada lukisan berjudul Di Depan Jendela Terbuka (2021), ditampilkan lukisan makanan yang siap disantap di atas meja dan disamping meja makan itu ada sebuah jendela terbuka dengan pemandangan langsung ke sungai. Di sungai ada satu tag boat menarik tongkang batu bara. "Pemandangan di luar jendela adalah arus perubahan, tentang fase maju dan mundur, ia akan terus mengalir. Maka nikmati saja apa yang ada di hadapan kita, tanpa terus risau dengan hal itu," ujarnya.
Hal ini mengingatkan kita pada Al Quran, ayat ke tujuh surah Ibrahim, Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhan kalian memaklumatkan, "Sesungguhnya jika kalian bersyukur (atas nikmat-Ku), pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih."
Rupa-rupanya beberapa karya dari Hajriansyah juga terinspirasi dari kalamullah, dalam kitab suci Al Quran. Seperti lukisan pohon yang disimplifikasi bentuk berjudul Tree of Life (2021), ia mengaku terinspirasi dari ayat Al Quran "Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhan-Nya. Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat" (QS Ibrahim: 24-25)
Lukisan lainnya, Uns dan Huzen, menampilkan sosok lelaki memakai tabrus, seruling dan lagi-lagi dibersamai kupu-kupu. Sembari memejamkan mata, intim dengan dirinya sendiri. Tentu saja, kesendirian itu akan memesrakan dirinya dengan sang Pencipta dan melahirkan ketenangan. Itulah yang disampaikan Tuhan dalam Al Quran, surah Ar Rad ayat 28, "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."
Karya-karya seperti ini barangkali tak bisa jadi dengan hanya bermodal keahlian teknik lukis belaka. Karya-karya seperti ini, lahir dari pengalaman hidup, spiritual yang dialami. Perlu pembentukan persepsi, pengendapan, hingga aktivitas berulang, sehingga kemudian pengalaman spiritual itu bisa benar-benar membekas dan akhirnya bisa dituangkan dalam sebuah karya lukis.
Penulis teringat juga pada proses Ugo Untoro sebelum menyentak dunia seni rupa Indonesia dengan karyanya berjudul Poem of Blood. Dalam karyanya itu, ia menampilkan kuda sebagai objek utama. Dia tidak serta-merta menampilkan karya itu tiba-tiba. Ia mengalami proses berpikir, merasakan dan membersamai yang cukup dengan lama dengan kuda. Sehingga kita bisa merasakan semacam "kesadisan" dalam kuda dan darah.
Dari sinilah, kemudian, penulis merasa Hajriansyah sebenarnya sedang mengajak dan membagi kenikmatan spiritual yang telah ia rasakan selama ini ke dalam lukisan-lukisannya itu. Pengalaman yang sudah bertahun-tahun ia alami dan rasakan itu.
Dalam suatu kesempatan perbincangan santai di Kampung Buku, Hajriansyah juga pernah bercerita tentang pengalamannya menemukan guru spiritual, yang akhirnya membimbingnya dengan sabar, untuk bisa merasakan nikmatnya ibadah spiritual.
Darwis yang berputar, pada banyak lukisan Hajriansyah, menggedor batin kita, untuk kembali menyelami diri sendiri. Pada kesadaran dan keintiman bersama Sang Pencipta. Berputar seperti tarian para darwis, karena sejatinya kehidupan itu sendiri adalah perputaran pada fasenya.
Jika mempertanyakan kembali, mengapa banyak menampilkan sosok lelaki penari sufi, maka kita bisa melihat, untuk apa tarian itu dilakukan berdasarkan sejarahnya. Tarian itu adalah sebuah manifestasi perasaan dari sosok sufi, Mawlana Jalalludin Ar Rumi. Tarian berputar, itu bagaikan meditasi, menanggalkan ego dan berusaha pasrah kepada sang Pencipta dalam cinta.
Beberapa lukisan Hajriansyah terlihat menampilkan "kepasrahan" ini. Dalam lukisan Uns misalnya, Hajriansyah menjelaskan, saat keheningan menjemput kita dalam kesendirian, kita seperti berhadap-hadapan dengan diri sendiri. Kupu-kupu menari, musik keabadian mengungkap dari balik kehidupan yang fana dan tak berarti.
Di lukisan lain berjudul, Story of Syamsi Tabriz (2022), manifestasi kepasrahan juga terasa. Kepasrahan seorang murid kepada guru yang membimbingnya. Kisah ruhani seorang Jalalludin Ar Rumi berssama gurunya, Syamsi Tabriz. Seorang murid, memerlukan perasaan merendah untuk bisa menerima ilmu dan bimbingan dari sang guru. Tanpa kerendahan itu, atau perasaan meninggi, maka bimbingan itu akan sulit diterima.
Kupu-kupu, seperti banyak kita temukan dalam lukisan Hajriansyah, adalah simbol metamorfosis. Dari ulat rakus yang menjijikkan, lalu masuk ke dalam kepompong, berproses, hingga lahir kembali menjadi bentuk lain yang sungguh indah, yaitu kupu-kupu. Menemukan kenikmatan dari kepasrahan dan kerendahan. Bahwa kepasrahan dan kerendahan itu bukan malah menjerembabkan manusia dalam lembah keputusasaan atau keterpurukan. Namun meningkatkan kualitas hidup dan kegembiraan manusia.
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang merendahkan diri.” (QS. al-Hajj/22: 34).
Posting Komentar