Kami (para pelukis, dan teman terdekat) biasa memanggilnya akrab dengan sebutan Kerbau. Memang ide yang agak aneh untuk menjadikan seekor binatang sebagai nama panggilan (galaran). Namun, bagi pria yang sebenarnya bernama asli Akhmad Noor tersebut, penyematan nama kerbau itu adalah sebagai sebuah dokumentasi pengalaman pilu saat pergelangan tangan kanannya patah akibat diinjak seekor kerbau rawa.
Rizky A. Setiawan | BANJARMASIN
Pengalaman yang tak mengenakkan tersebut ber-TKP di sebuah daerah di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU). Di kota tersebut, Kerbau ingin menyalurkan hobi fotografinya dan berburu salah satu objek foto yang terkenal di daerah tersebut, yakni: kerbau rawa.
Saya mengenal Kerbau sejak Januari tahun 2020 lalu. Waktu itu, pertemuan pertama kami bertepatan dengan pameran duetnya bersama Maui Chiver, pameran tersebut diberi tajuk Bersisian oleh Hajriansyah yang saat itu diberi mandat sebagai kurator. Pada pameran tersebut, Kerbau menemani saya berkeliling dan menjadi pemandu untuk menjelaskan gagasan dan latar belakang lukisan-lukisan yang sedang dipamerkan. Di momen tersebut, kami cukup banyak berbincang dan berbagi pengetahuan perihal seni rupa. Dan sampai pada penghujung pertemuan kami di hari itu, kami saling berbagi personal kontak untuk menjaga komunikasi tetap berlanjut.
Semenjak pertemuan kami di pameran itu, kami sering bertemu dan pada waktu-waktu tertentu saya berkunjung ke rumahnya. Terhitung sudah dua tahun lebih saya mengenal pribadi Kerbau dan pengalaman mengenalnya membuat sebuah kesimpulan dalam pikiran saya: soliter.
PENGHARGAAN - The Hamdan Bin Mohammed Bin Rasyid Al-Maktoum International Photography Award (Dubai, 2017). |
Saya menyimpulkannya dengan kata demikian, karena pribadi Kerbau yang jarang sekali keluar dari kandang. Ia tak seperti kebanyakan orang yang senang nongkrong atau berwisata ke suatu tempat. Bagi Kerbau, ia tak perlu bersusah payah melakukan aktivitas kelayapan tersebut, hanya dengan melukis dan menetap di rumah, bagi Kerbau kegiatan sederhana tersebut sudah cukup untuk membuatnya senang.
Menjadi pribadi yang soliter, bukan berarti membuat karir Kerbau sebagai seniman lukis dan fotografer menjadi sunyi-senyap. Gaung namanya tak hanya berkutat dan terbatas hanya di wilayah Kota Banjarmasin. Namanya juga pernah tercantum di pameran bergengsi di kancah nasional, bahkan internasional.
Pada pameran kolektif dengan skala Kota Banjarmasin maupun Provinsi Kalsel, Kerbau sudah bisa dipastikan selalu ikut serta. Pada kancah nasional, karya lukisnya telah tercatat di beberapa pameran bergengsi, diantaranya: Pameran Besar Seni Rupa Indonesia; Epicentrum (2016). Di tahun selanjutnya, Kerbau kembali menambah portofolionya di kancah nasional. Di tahun tersebut kerbau telah mencatatkan namanya di pameran Rest Area (2017), pameran tersebut diselenggarakan oleh Galeri Nasional Indonesia (GNI).
Pada even tersebut, Kerbau menjadi satu-satunya peserta pameran yang berasal dari Kalimantan Selatan. Seperti yang telah saya sampaikan di atas, Kerbau telah menggaungkan namanya di level internasional. Melalui karya fotografinya, ia mendapatkan penghargaan tertinggi dan dihadiahi medali emas 24 karat pada even The Hamdan Bin Mohammed Bin Rasyid Al-Maktoum International Photography Award (Dubai, 2017).
***
Saya tak tahu betul perihal serba-serbi fotografi dan pada sebuah obrolan, saya bertanya soal gaya dan aliran yang ia pilih untuk berkarya dalam bidang fotografi. Merespon pertanyaan saya, ia menjawab: “Dalam dunia foto, saya memilih aliran Mood Photography.”
Ia juga memaparkan kepada saya bahwa dalam fotografi, ia suka sekali dengan konsep merusak karya. Dalam karya fotonya, ia sengaja untuk mengatur level ISO lebih rendah dari standar pengaturan umum, dan karena pengaturan tersebut, ia membiarkan efek noise dan memanfaatkannya dengan sedemikian rupa untuk menjadi kesan mood pada karyanya.
Tak hanya bermain-main dalam pengaturan kamera, dalam beberapa tahun belakangan ia juga bereksperimen dan menjadikan dirinya sendiri sebagai model untuk dieksplorasi. Dalam karya seri yang diberi judul Self Portrait, Kerbau merusak dirinya dengan cara melumurkan cat di wajahnya.
Pada karya lain, ia menggunakan plastik, ditata sedemikian rupa untuk menyamarkan wajahnya. Dan pada beberapa waktu belakangan, ia bermain dengan media cermin pecah. Media tersebut ia gunakan untuk merefleksikan figur dirinya ke dalam beberapa bentuk kepingan acak. Eksplorasi media tersebut, membuat citra dengan kesan emosi yang dalam.
Perihal pemilihan tema karya seri self portrait, saya juga menanyakan alasan pemilihan tema tersebut. Baginya, berkarya tak perlu bicara perihal yang jauh-jauh. Dan karena ia adalah pribadi yang soliter, menjadikan diri sendiri sebagai model dalam karya merupakan momen kontemplatif untuk berdialog dengan diri sendiri.
Seri karya self portrait Kerbau mengingatkan saya pada tiga tokoh seni rupa yang juga banyak menjadikan potret diri sebagai objek lukis, yakni: Frida Kahlo, Affandi Koesoema, dan Agus Suwage.
Dan bicara soal karya lukis Kerbau, ia merupakan pelukis yang beraliran Realisme Fotografis. Arti dari aliran tersebut (definisi sederhananya) merupakan aliran lukis yang dalam prosesnya memanfaatkan teknik dan hasil fotografis untuk dialihwahanakan ke dalam sebidang kanvas. Karya-karya foto yang saya sebutkan diatas telah Kerbau jadikan ke dalam karya lukis.
Hari ini (Sabtu, 01 Oktober 2022) saya mengunjungi kediaman Kerbau di Banua Anyar, Banjarmasin. Dikunjungan saya saat itu, Kerbau memberi tahu bahwa setelah sekian lama lukisan self potrait yang bertemakan wabah Corona telah rampung.
Kerbau bukan termasuk tipikal pelukis cepat. Ia sengaja menunda dan menahan agar karya tak cepat selesai. Kepuasan menyelesaikan karya hanya sekedar tujuan akhir, baginya proses berlama-lama dalam melukis juga merupakan nikmat tersendiri.
Karya tersebut ia pajang di dinding ruang tengahnya, ukurannya terbilang sedang. Dalam karyanya itu, Kerbau kembali melukis potret dirinya sendiri. Memanfaatkan proyektor, Kerbau menembakkan proyeksi gambar tumpukan koran bertemakan Covid-19 ke arah dirinya yang sedang berlakon sebagai figur yang sedang dirundung cemas, ketakutan.
Komposisi dalam karya lukisnya tersebut terbilang kaku dan sangat umum (generic). Pada poin tersebut, Kerbau mengiyakan. Ia menempatkan figur (sebagai center of interest) di posisi bagian tengah, terkesan simetris. Padahal jika memilih komposisi yang agak janggal menurut saya bisa menambah efek dramatis dari lukisan Kerbau tersebut.
Terlepas dari poin tersebut, sebenarnya lukisan Kerbau tersebut sudah terbilang dramatis, ia memanfaatkan proyektor untuk memproyeksikan gambar tumpukan koran bertema Corona. Proyeksi gambar tersebut ia gunakan untuk dijadikan sebagai latar belakang, dan proyeksi gambar koran tersebut diatur sedemikian rupa untuk menimbulkan kesan timpaan yang menjadi detail-detail menarik, contohnya seperti tulisan “COVID-19” yang ada di bagian bawah masker. Pemilihan warna dalam lukisan tersebut juga menarik. Latar yang flat dan terkesan monokromatis membuat figur Kerbau yang dominan berwarna merah muda cemerlang dan bermasker biru mencolok terasa sangat menonjol.
Ekspresi kerbau yang ketakutan dan bayangan hitam pekat memberi kesan mencekam. Karya tersebut rencananya akan ia ikut sertakan dalam pameran seni rupa Jarujut. Pameran tersebut merupakan salah satu rangkaian acara Banjarmasin Art Week yang bakal diselenggarakan Dewan Kesenian Banjarmasin awal bulan November 2020. (rzk/sip)
Posting Komentar