MENGGUNAKAN bahasa Banjar dalam pembuatan sebuah cerita pendek (cerpen) barangkali bukan sebuah hal yang mudah. Meski untuk urang Banjar sekalipun. Perbedaan dialek dan pemahaman arti kata juga jadi soalan selanjutnya. Mari kita simak pengalaman Nurul Risa, juara menulis kisah handap (kisdap) pada Aruh Sastra Kalsel XIX Kabupaten Tanah Laut dalam mengolah bahasa Banjar menjadi sebuah cerita yang dalam.
BERITABANJARMASIN.COM
Sejak kapan mulai suka menulis?
Kalau menulis sebenarnya sudah sejak dari SD. Suka menulis puisi-puisi, suka menulis komik, namun masih asal-asalan. Kemudian mulai masuk Madrasah Tsanawiyah, lebih suka praktiknya. Sedangkan menulis agak kurang. Praktiknya itu seperti ikut lomba baca puisi dan ikut main drama.
Lalu Apakah Berlanjut saat Jenjang Aliyah?
Masuk ke MAN mulai belajar menulis cerpen juga, selain puisi. Cerpennya tema remaja. Tapi ya menulisnya di kertas-kertas, di buku-buku, jadi belum terabadikan bentuk file. Dan juga masih belum memikirkan untuk semacam mengabadikan atau mengikutkan ke berbagai lomba. Masih sekadar menyalurkan kesukaan. Waktu kuliah lebih ke praktik lagi seperti teater dan baca puisi.
Kapan Mulai Serius Menulis?
Mulai serius belajar menulis ketika mulai berinteraksi dan belajar dengan beberapa penulis Banua seperti Pak Aliman Syahrani, Ibu Rasuna dan Eva Liana. Karena dengan sidin-sidin ini aku belajar. Istilahnya itu beastilah, bujur-bujur, sungguh-sungguh. Khususnya Pak Aliman, karena Sidin yang memperkenalkan dunia sastra lebih jauh. Sering memberi info lomba dan memperkenalkan karya-karya penulis banua. Tentu menjadi semangat untuk bisa lebih baik.
Boleh Diceritakan Bagaimana Proses Pembuatan Cerpen Bahasa Banjar hingga Jadi Juara di Aruh Sastra?
Tentu penuh perjuangan. Sempat mau mundur, karena teknik menulis bahasa Banjar "balain" (berbeda) dengan teknik menulis bahasa Indonesia. Tapi semangat dari kawan-kawan dan niat hendak serius belajar menulis, maka maju terus saja.
Untuk penulisan kisah bahasa Banjar ini, baik itu dialek Hulu atau Kuala, dari yang aku tahu memiliki satu kesamaan teknik kepenulisan. Kesamaan itu berbeda dengan teknik kepenulisan cerpen bahasa Indonesia, yaitu kisah ini lebih kepada cerita bertutur, dengan dialog para tokoh yang tak terlalu mendominasi.
Bertutur di sini istilahnya mirip seperti kebiasaan atau hobi orang Banua yang suka bekisah (bercerita). Jika untuk pengisah, kisah akan dituturkan menjadi suara. Sedang untuk para penulis, si kisah ini dituangkan menjadi kata-kata. Lain kalau dengan teknik menulis cerpen bahasa Indonesia yang kebanyakan didominasi dialog para tokoh.
Sedang untuk kekentalan dialek dalam tulisan, barangkali karena pengaruh lingkungan yang pasti. Apalagi sekarang aku mengajar di SMAN 1 Simpur, yang menurutku dialek Pahuluannya (istilah untuk menyebut daerah Banua Anam) lebih kental dibanding di tempatku.
Untuk sisi tersampaikannya pesan untuk para pembaca, itu tergantung penulis dan pembacanya. Kalau menurutku ini istilahnya kalau frekuensinya cocok, maka apa yang kita rasakan saat menulis, akan dirasakan jua oleh pembaca. Kalau ujar Robert Forst, "No tears in the writer, no tears in the reader. No surprise in the writer, no surprise in the reader.
Jujur, ketika menulis itu, aku menangis dan sempat berpikir apa jangan seperti ini alurnya? Tapi ya daripada tidak mengirim, Bismillah kirim aja. Ternyata jadi nomor pertama peserta yang mengirim.
Dan ternyata takdir langit memperkenankan namaku menjadi nomor pertama jua di urutan penjuaraan. Masya Allah, Alhamdulillah, nasib memang unik.
Posting Komentar