Menyoal Kebermaknaan Ala “Prabu Maha Anu” | Berita Banjarmasin | Situs Berita Data & Referensi Warga Banjarmasin

Rabu, 26 Juni 2024

Menyoal Kebermaknaan Ala “Prabu Maha Anu”

Apa yang paling membuat saya nyaman dalam menonton akting para aktor di sebuah panggung pementasan teater? Tak lain adalah proporsionalitas alias takaran yang serba pas.

DEWI ALFIANTI | BANJARMASIN

Saya pikir inilah misi utama para aktor dalam mencapai apa yang pernah disebut Nano Riantiarno dalam bukunya mengenai substansi akting: make believe. Semua akan lebih berterima ketika semua tampak sesuai porsinya, suara, mimik wajah, emosi, gestur. Semua pas, tidak berlebihan dan tidak kemiskinan. Saya beruntung mendapatkan itu dalam pementasan “Prabu Maha Anu” yang dipentaskan kolaborasi tiga komunitas teater pada 23 Juni silam.

Bagi yang tak sempat menonton, lakon “Prabu Maha Anu” ini adalah pementasan dari naskah yang ditulis oleh Robert Pinget dengan judul asli, The Architruc. Pementasan ini disutradari oleh Bayu Bastari dan dilakonkan oleh Hijromi Putra Arijadi sebagai Raja, Bayu Bastari sebagai menteri, dan Muhammad Rifki sebagai Koki Pelayan.

Menceritakan tentang kehidupan Raja dan Menterinya yang bermain sandiwara untuk membunuh rasa bosan. Dari awal sampai akhir pementasan ini menggulirkan berbagai peran yang dimainkan menteri untuk menghibur Raja. 

Tiga pelakon yang dihadirkan dalam pementasan ini memainkan perannya dengan porsi yang pas. Raja yang tampak bodoh sekaligus tampak tidak bodoh dengan menteri yang tampak cerdas sekaligus tidak cerdas, sementara sang koki hadir dengan karakter yang jelas-jelas bodoh. 

Semua dimainkan dengan meyakinkan dan tidak berlebihan. Di awal adegan ketika lampu mulai beranjak terang. Penonton disuguhkan pada adegan raja yang tampak gelisah namun tak benar-benar gelisah. Ada terselip rasa bosan yang cukup kentara. Ragam emosi yang membawa pemahaman awal penonton pada hakikat cerita: ini adalah cerita tentang kehampaan jiwa manusia. Lalu sang menteri, sosok yang sebenarnya cerdas itu, menjelma menjadi orang konyol dalam rangka mengabdikan diri pada junjungannya yang bosan dan dengan sengaja menjadikan dirinya bodoh sambil tetap menyelipkan dugaan bahwa ia sebenarnya adalah orang cerdas berakal.

Ketika lakon dimainkan dengan sedemikian wajar, maka cerita akan lebih mudah untuk diselami. Saya dapat mengatakan bahwa penonton sudah selesai di awal dengan kualitas akting para pemain, hal ini kemudian yang membuat menikmati cerita lebih mudah dilakukan. Dialog panjang dan membosankan yang seharusnya membuat penonton mengantuk menjadi layak untuk disimak selama lebih dari satu setengah jam. 

Karena layaknya teater sebagai wahana katarsis di mana manusia mempertanyakan kembali pemahaman atas nilai, ajaran, dan bahkan pengalaman hidup dari apa yang dipertontonkan pada mereka, maka demikian pula pementasan ini hadir merefleksikan beberapa bagian dari pengalaman hidup penonton yang membawa pada pemahaman baru, boleh jadi pencerahan atau justru kegamangan baru tentang hidup.

Tanpa plot twist di akhir cerita, sebenarnya pementasan ini sudah menarik bagi saya. Boleh jadi ini renungan tentang oh-bisa-bisanya seorang pemimpin hanya bermain-main saja dan mengabaikan rakyatnya. Dan gambaran bahwa dalam perihal bermain-mainpun si pemimpin merasa bosan, dan hampa. Tak tampak ia benar-benar bahagia. Mungkin ini refleksi, bahwa pemimpin yang bahkan tidak punya waktu untuk sekadar tidur karena memikirkan nasib negaranya, terasa lebih berdaya, lebih hidup, dan mungkin lebih bahagia daripada pemimpin yang memimpin sekadar mencari kesenangan dan keuntungan dari hal tersebut. 

Namun boleh jadi pula, refleksi ini menjadi lebih personal kembali pada diri penonton masing-masing. Mungkin ia membuat kita merenungkan bagaimana ketika manusia diserahi tanggungjawab mengurusi orang lain atau hal lain, ia abai tersebab tak ingin berpayah-payah memikul beban itu. Lalu kemudian yang dilakukan hanyalah mencari kesenangan karena itu lebih mudah dan lebih menyenangkan. Awalnya. Hingga kemudian terlalu banyak kesenangan pun akan mengantarkan manusia pada ketakbermaknaan, kehampaan, dan kekosongan lainnya. 

Tepat seperti pengantar pada booklet pementasan, lakon “Prabu Maha Anu” ini kemudian mengantarkan penonton pada renungan-renungan mengenai eksistensi diri masing-masing. Seberapa hampa hidup kita? Apa yang membuat hidup kita terasa hampa padahal ada begitu banyak kesenangan yang hari ini mudah diakses? Atau jangan-jangan justru kesenangan-kesenangan itu yang mengantarkan kita pada kehampaan karena semuanya tak memiliki makna? Lalu apa yang bermakna bagi manusia? 

Selamat kepada tim produksi pementasan. Jika di kemudian hari kolaborasi tiga komunitas teater, Sanggar Budaya-nya Hijromi dan kawan-kawan, Ruang Aktor-nya Bayu Bastari dan kawan-kawan, serta Patform Lilium-nya Aminuddin dan kawan-kawan bisa membuat lebih banyak produksi semacam ini lagi, itu pertanda kita para penonton tak kekurangan wahana untuk berkontemplasi.

Posting Komentar

favourite category

...
test section describtion

Whatsapp Button works on Mobile Device only

close
pop up banner